Sesosok perempuan dengan mata hitam dan rambut yang merupakan juntaian banyak akar membuatku sedikit terkejut, yang kurasa itu tidak sopan. Yup, ia langsung menatapku.
“Baiklah.. Lydia dan orang udik yang kurasa baru pertama kali berkelana?” Ucapnya dengan nada agak sinis yang tidak membuatku kesal sama sekali, apalagi itu adalah salahku.
“Aku minta maaf atas sikap kasarku, karena aku belum pernah melihat ras sepertimu.” Ucapku mengakui kesalahan. “Tidak apa-apa, aku terbiasa menghadapinya.” Ucapnya seperti itu namun ia masih menggunakan nada sinis. “Baiklah nyonya Peachwood, lupakan hal itu dan langsung menuju bisnis utama kami disini.” Ujar Lydia memutus basa-basi kami. “Baik nona tidak sabar, apa yang ingin kau beli?” Tanya nyonya peachwood dengan nada agak mengejek yang tidak ia hiraukan. “Kami butuh beberapa bubuk batu fosfat, dan beberapa kertas akasia.” Jelas Lydia.
“Ohh ingin bercocok tanam?” Tanya Peachwood “Hmm kurasa tidak” Ia menjawabnya sendiri.
“Apakah ledakan asap?” Tanyanya lagi sambil terkekeh selagi mengecek beberapa kendi penyimpananya. Pernyataannya barusan mengguncang kami, tapi Lydia memegang lenganku sesaat, mengisyaratkan untuk bersikap biasa saja.
Nyonya Peachwood memasukkan bubuk batu fosfat kedalam kantung kulit, kemudian mengambil beberapa gulungan kertas akasia sebelum menyerahkan pada kami. “Berapa harganya?” Tanya Lydia. “Kirimkan saja hasil ladang Tref seperti biasanya.” Ujar Peachwood. “Baiklah, kami pergi.” Ujar Lydia yang ingin segera mengangkat kaki dari tempat itu. Kami beranjak meninggalkan tempat itu, dan di penghujung pintu, aku mendengar suara Peachwood yang berbisik kearahku dengan sangat pelan “Sepertinya kau pria yang menarik.” Aku tidak menghiraukan dan segera beranjak meninggalkan gubuk itu.
“Sebenarnya ras apakah Nyonya Peachwood?” Tanyaku.
“Son of Wood, manusia kuno yang mewarisi darah ibu bumi.” Jelas Lydia “Mereka memang sangat jarang kita temui, apalagi ditengah perkotaan seperti ini. Kebanyakan dari mereka tinggal di tempat-tempat terpencil seperti pegunungan atau hutan.”
“Oh begitu, nampaknya memang masih terlalu banyak hal yang harus kupelajari selagi di kota ini.” Tukas ku. “Ya tentu saja, agar kau tak mengulangi kesalahan yang sama seperti tadi.”
Kami tiba di kamar penginapan dan kebetulan Alvy baru selesai menulis surat palsu pemindahan tahanan itu. Kami mengecek bergantian, memastikan semuanya tertulis dengan benar, lalu Alvy memberikan stempel.
“Surat sudah siap, aku akan menyamar menjadi kurir dan mengantarkannya pada kepala sipir penjara.” Ujar Alvy. “Baiklah.” Jawabku “Dan selalu siapkan senjata bila ada sesuatu yang tidak beres.” Tambahku. “Tentu saja sob” Ujar Alvy sebelum kembali meninggalkanku berdua dengan Lydia untuk merakit bom.
“Pertama, kita letakkan serpihan batu fosfat didalam kertas akasia.” Dengan telaten aku mengikuti ucapan Lydia. “Kemudian bentuk seperti bola, dan putar pangkalnya agak memanjang sebagai sumbu pembakar, dan inilah bom asap kita.” Ia tersenyum dan menunjukkan bom asap buatannya.
“Ok.” Aku mengikutinya dan ternyata sangat mudah. “Seperti ini bukan?” “Yup!”
Kami membuat sekitar 10 bom asap. “Dengan ini persiapan kita selesai, tinggal menunggu kembalinya Alvy!” Ujar Lydia agak ceria dengan sifat aslinya.
“Lydia, apakah kamu yakin akan membantu kami? Kurasa rencana kali ini terlalu berbahaya.” Ujarku mengkhawatirkannya, apalagi ketika menghadapi sifat aslinya yang sangat halus dan feminim. “Aku yakin.” Ujar Lydia dengan tegar. “Dulu, Ayah menyelamatkanku dari orang-orang jahat ketika aku kabur dari panti asuhan.”
“Sejak hari itu, aku mengasah kemampuan bela diri, dan berjanji akan membantu semua orang baik yang kutemui!” Ia tersenyum kearahku.
Aku terpana sekaligus tersentuh, mengingat seorang perempuan seumuranku dengan berbagai keahlian dan masa depan hidup yang terjamin, masih bersedia melakukan hal berbahaya dengan seseorang yang baru sekali ia temui. Aku memeluknya tanpa ragu dan berkata “Terima kasih Lydia, selamanya aku akan mengingat kebaikanmu.”
“Misi selesai.” Ucap Alvy yang baru saja kembali dan menemui kami sedang berpelukkan. Seketika aku melepaskan pelukanku. “Ini tidak seperti yang kau lihat Alvy.”
“Sepertinya aku akan keluar sebentar.” Ujarnya sambil berjalan mundur meninggalkan ruangan. “tidak, tidak, kembali sini!.” Ujarku sambil menahan pintu dan menarik lengannya agar masuk kembali.
Dan sekarang situasi terasa canggung. Lydia dengan wajah memerah yang sedari tadi menunduk terdiam, Alvy yang mengalihkan perhatian dengan memainkan bilah pisaunya, dan aku yang memikirkan cara memecah kecanggungan ini.
“Baiklah, kapan kira-kira pemindahan tahanan berlangsung?” Tanyaku pada Alvy.
“Seketika matahari terbenam, protokol perpindahan akan mulai dijalankan.” Ujar Alvy.
“Dimanakah tempat kita akan menanti mereka?” Tanyaku pada Lydia. Ia masih tercengang. “mm Lydia?” Tegurku. “Eh.. mm nanti kita akan menunggu pada salah satu bangunan milik teman ayahku, berada tak begitu jauh dari sini.” Jelas Lydia.