BLANK SPACE

achmad andy rifai
Chapter #1

Bab I - Faisal

Senja datang. Seperti biasa, namaku pasti akan selalu dipanggil oleh kakakku, Faisal. Ia menggedor-gedor pintu kamarku dengan tangan kekarnya hasil taekwondo sejak ia sekolah di bangku SMA.

“Junaaa, Junaaa, ayo cepat, mau magrib. Cepat mandi sana!” teriak Kak Faisal dari luar kamarku. Sementara aku sedang asyik main game dan melonjor di kasur.

Suaranya yang kencang dan suara gedoran pintu menjadi sebab aku cepat-cepat menuruti perintahnya.

 “Iya, Kak. Bentar lagi. Masih capek nih” sahutku sambil mengeluh.

Kak Faisal adalah kakak ku satu-satunya yang selalu mengajakku ke masjid untuk sholat maghrib berjamaah. Di saat orang-orang menikmati eksotisme senja, aku malah harus masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap dengan sarung dan peci ku. Tidak jarang Kak Faisal mengulang-ngulang kalimat “Sholat adalah Tiang Agama. Barangsiapa sholat, telah mendirikan agama. Barangsiapa tidak sholat, maka merobohkan agama”. Kebiasaan kakakku ini sudah dimulai sejak aku duduk di tingkat pertama bangku SMA. Dengan jarak usia 5 tahun, aku pun lebih sungkan dan enggan untuk menolak ajakannya.

Kak Faisal pernah bercerita kepadaku bahwa ia bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam di kampusnya, UIN Jakarta dan tidak lama sejak bergabung, dia mendapati ketenangan dan keasikan dalam solat berjamaah. Ia suka bercerita bahwa kawan-kawan nya di ekskul Rohis tersebut seperti keluarga, kepedulian mereka tidak hanya soal ibadah saja, tapi juga soal kesulitan-kesulitan seperti pelajaran, pergaulan dan lainnya. Dengan pengalamannya demikian, Kak Faisal selalu menyuruhku untuk masuk ekskul Rohis di sekolahku, SMA N 28 Pasar Minggu.

Aku seringkali merasa Kak Faisal lebih keras daripada ayahku sendiri, meskipun fisik mereka tampak sama, berkulit sawo matang, tinggi dan tegap. Kadang tidak segan-segan ia suka mengeluarkan nasihat-nasihat yang menurutku tidak tepat untuk disampaikan, seperti ancaman neraka, untuk diriku yang masih pantas bermain kesana kemari, dan berbuat sesuka hatiku. Bagiku, Kak Faisal seperti sedang kerasukan arwah kakekku, atau tepatnya ayah dari ayahku, yang memiliki ketegasan dalam mendidik agama anak-anaknya. Ketegasannya begitu membekas di hati ayahku karena pernah ayahku disiram air ketika telat bangun sholat shubuh. Alhasil, ia pun harus membereskan kasur tidur yang basah sebagai konsekuensi yang ditanggungnya, dan hal ini pun tidak hanya sekali. Begitulah setidaknya yang pernah diceritakan ayahku ketika aku berumur 7 tahun.

Berbeda dengan kakekku, ayahku termasuk ayah yang santai dalam mendidik anak-anaknya. Ayah memang lebih moderat dibanding kakek. Bisa dibilang, Ayah lebih manusiawi. Menurutnya, ia hanya bertugas menyampaikan, bukan memaksa atau pun menghukum. Ia tidak mau anaknya terpaksa melakukan sesuatu. Paksaan hanya akan menimbulkan perlawanan, bukan keikhlasan.

Di tengah perjalanan kami ke masjid, aku bercerita kepada Kak Faisal tentang ekskul yang kupilih. “Kak, aku ikut ekskul PMR. Anggotanya banyak di sini. Kata senior, mereka suka bikin event di car free day (CFD). Kalau tidak salah, minggu pagi ini, mereka ada event dan PMR Junior wajib ikut” jelasku.

“Ohya…? Sudah lama kakak ga ke CFD, kebetulan kakak siang mau ke Masjid Istiqlal, ada kajian. Mau barengan?” ajaknya dengan semangat.

“Hmm…boleh tapi aku bilang ayah dulu ya kak” jawabku.

“Yaudah, nanti sepulang dari masjid, kita bisa tanya ayah. Emang kamu kenapa mau ikut ekskul PMR, Jun?” tanya kakakku penasaran.

“Keren aja kak bisa menolong orang lain” jawabku polos.

“Ooh..” Kak Faisal mengangguk-angguk. “Emangnya kamu berani lihat darah?” tanya Kak Faisal mencari tahu dan menakutiku.

“Berani donk, Kak. Aku sering liat darah kok di game” jawabku sekenanya.

“Yee, itu bedalah” timpal Kak Faisal sambil merapikan rambut ikalnya yang keluar dari peci.

“Hahahaaa” kami pun tertawa bersama.

Akhirnya kami sampai di Masjid Raya Palapa Baitus Salam, sebuah bangunan 2 lantai yang memiliki aula serba guna di lantai pertama dan tempat sholat di lantai dua. Dengan nuansa warna krem, atap limas bertingkat seperti bangunan jawa dan taman hijau di sekelilingnya, terasa sekali kedamaian di sini. Aku pun menaiki anak tangga satu per satu ke lantai kedua.

Selepas sholat, aku duduk di teras masjid sembari nunggu Kak Faisal dengan zikir dan sholat sunnahnya. Beberapa sahabatku lewat dan kita mengobrol bersama. Kami bercerita pengalaman memasuki bangku sekolah yang baru. Sahabatku, Ilyas dan Arman bercerita pengalaman orientasinya di ekskul pilihannya. Kami bersekolah di tempat yang sama, namun Ilyas dan Arman memilih ekskul yang berbeda. Ilyas memilih ekskul KPPF (Kelompok Pelajar Peminat Fotografi), sedangkan Arman memilih ekskul Paskibra. Keseruan cerita kami berakhir ketika ayah mereka masing-masing mengajak pulang.

“Juna, gue duluan yah” seru Ilyas dan Arman yang pulang bersama ayah mereka.

 Akhirnya Ayah mengizinkanku untuk ikut dengan Kak Faisal. Aku dan Kak Faisal tiba di car free day, Bundaran HI. Dari kejauhan 2 meter, kami melihat kumpulan orang berseragam putih layaknya seragam PMR, kami mendatangi mereka dan aku segera bergabung dengan PMR Senior, sebutan anggota PMR yang duduk di tahun kedua. Kak Faisal dengan akrab menyapa PMR Senior dan mengikuti antrian untuk periksa tensi dan ambil darah. Bagi kami, PMR Junior, kami kedapatan bertugas untuk membagikan flyers berisikan anjuran makanan sehat dan banyak minum air. Memang, ini sedang musim panas, udara pagi ini saja sudah cukup panas bagiku dan tidak terasa air minumku sudah hampir habis. Aku sangat bersemangat melihat keramaian peserta yang sedang diperiksa, seolah tubuhku mengisyaratkan aku sedang melakukan tugas PMR Senior. Aku bisa merasakan wajah-wajah senang dan ucapan terima kasih dari mereka yang sedang diperiksa oleh PMR Senior.

“Ah keren banget event PMR ini” batinku berkata sembari membagikan flyers kepada seorang gadis cantik berwajah oriental dan berambut panjang.

Tiba-tiba senyumku berubah kecut ketika ia langsung meremas-remas flyers dan membuangnya. Aku menggeleng-geleng dan meneriakinya, “Hei mba cantik, buang sampah pada tempatnya”. Ia terus berjalan bersama tiga temannya. Ia menengok ke arah ku sekali tanpa mengambil flyers yang dibuangnya di jalan. Teriakanku membuat tidak hanya teman-teman PMR, para peserta pun langsung menoleh ke arahku. Aku pun bersigap mengambil flyers yang dibuang gadis tersebut. Sungguh, aku tidak akan lupa dengan gadis cuek tersebut. Seorang gadis yang sebaya dengan adikku Qiana. Aku kesal. Attitude dan parasnya sungguh berbanding terbalik menurutku.

Lihat selengkapnya