Nama keluarganya hilang semenjak pasukan bergajah menyerang dan menghancurkan kota mereka. Pasukan itu menjarah harta-harta, membunuh pria dewasa dan menjadikan perempuan serta anak-anak sebagai budak belian, banyak wanita dilucuti kehormatannya malam itu. Hanora berusia empat belas tahun saat peristiwa itu terjadi, ayah dan kedua saudara lelaki tertuanya dibunuh didepan ibu dan matanya. Ibunya sendiri diperkosa secara berganti oleh beberapa pria, lalu memutuskan untuk mengakhiri nyawanya sendiri kemudian. Adik lelakinya hilang dan tak pernah ditemukan, jika adiknya masih hidup maka nasibnya akan sama seperti dia, dijual sebagai budak, untuk itu Hanora sangat berharap bahwa lebih baik adiknya meninggal saja daripada harus menjalani kehidupan menyedihkan seperti ini.
Peristiwa itu membekas selama tiga tahun dimasa perbudakan Hanora, dia sangat membenci mereka, pasukan bergajah. Sejak saat itu dia memutuskan untuk tidak percaya kepada dewa manapun. Tidak ada dewa yang tega melakukan itu kepada keluarga dan negerinya. Sekarang dia terlunta-lunta dinegeri asing yang tidak pernah dilihatnya sama sekali, sebagai budak.
Dua tahun pertama sebagai budak, Hanora dibeli majikan yang sangat kejam. Hampir setiap hari dia dipukul baik perbuatannta salah maupun tidak, hal itu menjadi kesenangan tersendiri bagi tuan dan nyonya yang membelinya. Namun akhir tahun keduanya, majikannya meninggal dan dia kembali dijual. Dia cukup beruntung karena majikannya kali ini seorang bangsawan terpelajar. Majikannya sangat baik dan memanusiakan Hanora, tidak pernah sekalipun memperlakukan Hanora seperti budak. Untuk pertama kalinya Hanora kembali merasakan kenyaman sebuah keluarga. Namun hal itu tidak berlaku lama, majikannya terkena penyakit cacar gajah dan meninggal. Lalu suami majikannya menjualnya kembali ke lelang budak. Begitulah nasibnya sekarang, seorang terhormat yang hilang rumah dan kehormatannya, menunggu seorang pembeli budak.
“Cepat jalannya!” Teriak prajurit berjanggut cokelat itu, prajurit tuannya yang sekarang, “jangan lupakan etika kalian! Kalian mungkin budak, tapi kalian sekarang akan dibeli, dan saya dengar ada banyak bangsawan yang menunggu untuk membayar mahal kalian!”
Hanora mengabaikannya, dia sudah terbiasa. Namun sepertinya ada beberapa orang yang belum terbiasa menjadi budak, salah satunya seorang gadis yang berjalan dibelakangnya, terbelenggu rantai sama sepertinya. Dia sudah tidak kuat berjalan namun prajurit majikannya malah memberikan cambukan terus menerus.
“Hentikan!” Hanora berteriak keras, “kita sudah berjalan jauh, beri dia minum, dia mengalami dehidrasi parah.”
Prajurit itu mengamatinya dengan dingin, lalu mengambil kantung minum dan meminumnya sendiri. “Kalian mau minum?” Lalu menumpahkannya ketanah.
“Apa kau bodoh?” Hanora sinis, “apa susahnya memberikan air kepadanya?”
“Apa kau bilang?” Prajurit itu mendekat dan menarik rambut Hanora, lalu beberapa prajurit lain mendekat setelah mendengarkan, “kau bilang aku bodoh?”
Hanora memandanginya dengan sinis, dia sangat membenci mereka, para majikan, prajurit, siapapun yang memperjual-belikan manusia. Lalu salah satu prajurit memegangi tangannya yang telah terikat rantai, prajurit tadi memukul wajahnya dengan kuat. Hanora hanya diam dan tetap memandang sinis, dia sudah terbiasa dipukul seperti itu.
“Kau memandangiku seperti itu?” Prajurit itu semakin kesal melihat ekspresi wajah Hanora yang menyebalkan, “baiklah jika kau begitu ingin kucambuk!”
Melihat rombongan kereta berhenti dan mendengar keributan diluar, tuannya turun dari kereta indahnya sambil memegang kipas dengan janggut putihnya. “Demi Dewa tujuh lautan! Gerbang kota sudah terlihat! Apa yang kalian lakukan?”
“Budak perempuan ini berlagak tuan,” prajurit itu menunjuk kewajah Hanora, namun tuannya langsung menyuruhnya diam.
“Dengar, ibukota sudah dekat. Kendalikan perilaku kalian! Vogal adalah ibukota besar, kota para bangsawan! Aku tidak mau ada kesalahan sekecil apapun! Ayo jalan lagi!” Tuannya itu menyuruh rombongan untuk tetap berjalan.
“Tuan! Bagaimana mungkin kami bisa jalan lagi dengan kondisi seperti ini?” Hanora cepat berbicara sebelum prajurit menyuruhnya diam, “jika terus seperti ini, para budak akan pingsan. Setidaknya beri mereka minum tuanku.”
Tuannya memandangi Hanora, “kenapa harus kuberi kalian minum? Kalian budak!”
“Tuan, jika tuan ingin menjual budak dengan harga tinggi, apakah masyarakat Vogal mau membeli budak yang terlihat lemah seperti ini?” Hanora mencoba mencari alasan, “budak harus terlihat kuat barulah harga mereka mahal tuanku.”
Tuannya melihat Hanora dengan seksama, lalu melihat kearah budak-budaknya yang sangat lemah setelah berjalan ribuan mil, “kau benar, kau benar!” Tuannya diam dan berpikir sebentar, “prajurit, beri mereka minum dan roti.” Dia melihat lagi kearah Hanora, “kau cukup pintar sebagai budak.”
Rombongan itu berhenti beberapa jam, diberi sedikit makan dan minum dan waktu beristirahat. Setelah beberapa jam mereka melanjutkan iringan dan tiba di ibukota. Beberapa budak berterima kasih kepada Hanora dan perempuan dibelakang Hanora yang semula lemah menjadi sedikit bertenaga. Saat mereka tiba digerbang ibukota, Hanora terpana dengan keindahan kota itu, sangat megah. Kota itu sangat besar dengan kastil kerajaan diujung sana yang terlihat sangat besar dan tinggi, dinding-dinding kerajaan menjulang tinggi. Aroma laut tercium dari sini. Yang paling menonjol dari kota ini adalah pemandangan sebuah Naegel, menara persegi lima yang menjulang tinggi tiga ratus meter dengan patung logam emas berbentuk burung yang sangat besar. Sangat menawan. Dia mungkin sudah lupa dengan kemegahan kotanya sendiri, namun kemegahan kota ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Vogal disebut kota para bangsawan, kota tertua disemenanjung benua Messiaa. Kota yang tak pernah jatuh dengan kerajaan yang makmur sentosa, kerajaan yang selama ribuan tahun tetap berdiri. Vogal terkenal dengan keberanian pasukannya yang melegenda sampai ke benua lain. Bahkan pasukan bergajah tidak berkutik ketika mencoba menaklukan kota ini beberapa kali di beberapa tahun yang lalu.
Mereka terus berjalan melewati gerbang, lalu gerbang besar itu menutup rapat. Mereka berhenti disebuah bangunan besar. Tuan mereka turun dan disambut hangat oleh beberapa orang yang berpakaian sangat gagah, dengan jahitan sutra emas. Dan mereka satu persatu masuk kedalam bangunan, sepertinya tempat itu akan menjadi lelang besar-besaran besok.
Hanora berjalan memasuki bilik-bilik dengan jeruji besi yang kokoh. Yah begitulah nasib budak. Setidaknya malam ini dia bisa beristirahat dengan tenang. Dia melihat perempuan tadi satu jeruji dengannya.
“Kakak, aku sangat berterima kasih pada kakak, keberanian dan kecerdasanmu menyelamatkan kita.” Ucap gadis kurus itu, wajahnya berdebu kering.
“Kita budak, tak ada yang bisa menyelamatkan kita. Kita akan selamanya menjadi budak.” Balas seorang pria spontan, disebelah jeruji mereka, “berdoalah supaya majikanmu selanjutnya tidak kejam!”
Gadis kurus itu diam lalu meneteskan air mata, “kau benar, kita budak.” Namun Hanora dengan cepat memberikan pelukan, “setidaknya kita masih punya harapan dihari esok.”
Pria itu tertawa keras kehilangan kendali, “kau sungguh berpikir kita masih memiliki harapan? Budak seperti kita?”
Hanora menutupi telinga gadis yang lebih muda itu, “jangan dengarkan dia, kita masih punya harapan, setidaknya kita bisa berharap mendapatkan majikan yang baik.” Hanora menusap tangisan gadis itu, “siapa namamu?