Ini sudah hampir seminggu lebih dan Aurora tak menampakan bayangannya sama sekali di SMA HARAPAN JAYA. Semua siswa-siswi sudah berasumsi macam-macam mengenai absennya Aurora dari sekolah. Namun, kejadian ini sangat menyakitkan bagi Detri karena selama seminggu ini Detri sudah mendatangi rumah Aurora yang selalu kosong. Bahkan pernah Detri memaksa memasuki halaman rumah Aurora yang begitu sepi. Informasi yang Detri dapat adalah Aurora tengah melakukan terapi untuk penyakitnya. Hal yang paling menyakitkannya adalah Detri sama sekali tak tahu menahu bahwa Aurora kembali jatuh sakit.
“Udah, kebanyakan melamun lo! Makan dulu napa!” tegur Rayi yang mengangsurkan semangkuk bakso untuk Detri.
Rayi, Harun, Kafka, Mila dan Tsani sama khawatirnya dengan Detri namun usaha yang mereka lakukan tak membuahkan hasil. Beberapa kali telpon dan pesan tak pernah di gubris Aurora. Tak ada pilihan lain bagi Tsani dan Mila selain menunggu.
“Gue nggak nafsu makan, kalian aja!” Detri melenggang pergi meninggalkan meja kantin tanpa memperdulikan tatapan kawan-kawannya.
“Memangnya Ara sakit separah apa? Gue jadi bingung Ara pergi tanpa jejak.” ucap Tsani sedih.
“Apa jangan-jangan ada yang Ara sembuyikan dari kita? Maksud gue, kalian tahu kan selama ini Ara selalu terbuka sesakit apapun dia. Tapi kok ini kesannya Ara sengaja menghilang.” ujar Mila.
“Salah kita Mila, harusnya waktu itu kita nggak biarkan Ara ke toilet sendiri, kita bahkan nggak tahu apa aja yang Ara alami sampai akhirnya Ara bisa sakit. Mungkin Ara pingsan kayak waktu dulu.” sangka Tsani.
“Bahkan orang tua Ara nggak membiarkan pihak sekolah tahu. Yang jelas mereka benar-benar menyembunyikan kondisi Ara. Gue jadi merasa bersalah karena kita nggak bisa jadi sahabat yang baik buat Ara.” ucap Mila lirih.
“Udah, kalian tenang aja, lagian belum ada kabar pasti tentang Ara, kita juga udah coba cari info. Kalau memang benar Ara celaka karena ulah seseorang pasti orang itu nggak bakal bisa lari lagi.” Rayi berusaha menenangkan Tsani dan Mila.
“Gue juga lagi cari info siapa saja yang ada terakhir hari itu. Kemungkinan besar orang itu tahu keberadaan Ara dan apa yang terjadi dengan Ara. Jadi, kalian jangan sedih lagi. Gue yakin kalian khawatir banget dengan Ara tapi dengan bersedih-sedih bukannya menambah bala bantuan justru yang ada kalian makin kepikiran.” saran Harun.
“Terkadang sebelum kita benar-benar merasa seseorang itu layak hadir dalam hidup kita perlu adanya sebuah rasa yang di sebut kehilangan.”
Kalimat Kafka membuat semua orang ikut termenung. Mila dan Tsani hanya bisa berdo’a bahwa mereka bisa mendapat kabar baik mengenai Aurora. Tentunya mereka sangat merindukan hadirnya Aurora di tengah-tengah mereka.
Detri mengakui bahwa teman-temannya sangat concern dengan masalahnya hanya saja Detri lelah dan ingin menyendiri untuk saat ini.
Detri berjalan gontai menuju salah satu tempat di mana kenangannya bersama Aurora selalu hidup. Ruangan ini sepi karena tak ada perawat dan ketua PMR yang biasanya berjaga di UKS. Detri meneliti lebih seksama dan tersenyum miris ketika ingatannya bertemu kembali pada wajah Aurora yang selalu terbaring di ranjang UKS sekolah ini.
“Ara? Ara sehat? Detri pernah bilang kalau ada apa-apa panggil Detri.”
Detri merebahkan tubuhnya pada ranjang yang biasanya Aurora gunakan ketika jatuh pingsan.
“Di sini, biasanya kalau Ara pingsan dan Detri yang ada nunggu Ara bangun.”
Detri memakai bantal yang biasa Aurora gunakan. Detri menggeram pelan karena ingatannya kembali jatuh pada Aurora yang selalu terlihat nyaman meskipun dengan bantal UKS sekolah yang agak keras seperti ini.
“Detri harap dimanapun Ara berada, Ara akan ingat bahwa Detri selalu ada. Detri tak akan menyerah. Detri akan cari Ara sekalipun Ara menghindar. Detri ingin mendengar semuanya langsung dari mulut Ara.”
Detri menengadahkan kepalanya pada langit-langit ruang UKS. Begitu banyak wajah Aurora yang biasa hadir dalam hidup Detri.
“Aurora Harsyad Putri, kelemahan Detri, tak ada Ara itu berarti Detri lemah.”