Pagi-pagi sekali, pada suatu hari di penghujung musim panas, Rosemary Bliss mengendarai sepedanya seorang diri melalui jalanan Calamity Falls yang sepi. Di keranjang sepedanya, dia membawa satu stoples biru yang tertutup rapat.
Tak banyak orang yang sudah bangun sepagi ini, apalagi anak perempuan biasa berusia 13 tahun. Namun, Rosemary Bliss, terlepas dari kenyataan bahwa dia anak perempuan berusia 13 tahun, bukanlah anak perempuan biasa. Dia seorang Master Pembuat Kue dari keluarga Bliss. Dan, ada pekerjaan yang harus dia selesaikan.
Pendar cahaya fajar menyinari stoples itu ketika Rosemary mengayuh sepedanya dengan cepat menembus kabut pagi. Sulur yang bersinar melingkar dan berputar, serta melekat pada lapisan sirop gula kental di dalam stoples. Saat Rose mengayuh sepedanya hingga mencapai puncak Sprarrow Hill, stoples itu bersinar menyerupai lampu sorot panggung.
Rose meluncur ke perhentian di kawasan parkir yang sepi di Toko Donat dan Bengkel Stetson, lalu memutar tutup stoplesnya. Wangi hangat donat menyeruak di udara. Namun, hari masih terlalu dini bagi kebanyakan orang untuk terbangun dari tidur mereka.
Itulah mengapa Rose lantas menjatuhkan stoplesnya ketika pintu toko reparasi terbuka dan denting bel berbunyi.
Devin Stetson melangkah ke luar, menyeka kotoran dari celana jins dan kaus putihnya. “Hei, Rose!” panggilnya. “Apa yang kau pegang di sana?” Belakangan ini, Devin membiarkan rambut pirangnya tumbuh, dan sekarang tepi rambut ikal itu menutupi kedua telinganya. Cahaya matahari terbit yang tampak di belakangnya membuat Devin terlihat menyerupai malaikat.
“Ini cuma, ehm … lentera hias bertema luar angkasa yang dibeli Sage di Paris.” Rose memasukkan stoples bersinarnya ke dalam ransel sebelum Devin sempat melihatnya lebih jelas. “Aku sudah tidak membutuhkannya lagi karena matahari sudah mulai terbit.”
Sinar matahari terbit akan menjadi bahan ajaib untuk kue Pastry Parfait Semoga-Hari-Cerah—tapi Rose tidak bisa memberi tahu Devin walaupun mereka berdua telah melewati pekan lalu dengan bersepeda bersama di taman dan minum teh di Tea ‘n’ Things Café. Dan, meski Devin sudah menjadi kandidat utama calon Mr. Rosemary Blisses, dia tetap saja anak dari seorang mekanik yang cuma punya sedikit tempat untuk donat berminyak. Dia bukan seorang Bliss, dan tentunya keajaiban toko roti keluarga Bliss harus tetap menjadi rahasia.
“Lentera? Keren juga,” kata Devin sambil berjalan menghampiri Rose, lalu mengecup pipinya. “Hai.”
“Hai,” Rose membalas bisikannya sambil tersenyum lebar. Saking lebarnya, bahkan penjelajah Mars mungkin bisa melihatnya. “Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Apa kau kena insomnia? Aku bisa membuatkanmu sesuatu supaya bisa tidur pulas. Aku bisa membuatnya sekarang juga!”
Devin menyentuh lengan Rose. “Aku sengaja bangun lebih awal untuk memperbaiki sepeda motor kecil ini sebelum pagi tiba.” Devin menyapu rambut Rose dari matanya dan memandangnya dengan wajah berseri-seri. “Semuanya berjalan lancar sejak toko roti milik keluargamu dibuka kembali. Jangan khawatir, Rose.”
Semuanya berjalan lancar, Rose mencoba meyakinkan dirinya. Bergembiralah, Rose!
Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan rapuh dan memuakkan yang berbisik, Ini tak akan berlangsung lama. Setelah segala hal buruk dilakukan demi mencuri buku resep milik keluarganya, Rose tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa akan ada hal buruk yang bisa terjadi kapan saja dan menghancurkan kebahagiaan siapa pun. Dan keburukan itu seperti sepatu hak tinggi ukuran tujuh yang dipakai bibi Rose yang jahat, Lily. Tak peduli seberapa besar keinginan Rose untuk bahagia, dia tidak bisa melupakan memo tak menyenangkan yang diterimanya saat ulang tahunnya yang ketiga belas.
Sampai jumpa lagi. Salam sayang, L.
“Oh, kau menggigil!” ucap Devin. “Ini, pakai sweter punyaku.” Devin melihat pakaiannya, lalu tersadar dia sedang tidak mengenakan sweter. “Hmm. Ini, pakai kausku saja!”
Pipi Rose merona saat Devin mencoba membuka kaus bernodanya. “Mungkin sebaiknya kau pakai lagi kausmu.”
“Ide bagus.” Devin memasukkan tangannya ke saku celana, lalu menggoyangkan tubuhnya ke depan dan belakang. “Bagaimana kalau kita pergi nonton nanti? Ada film fiksi-sains musikal di Calamity-Plex, judulnya Alien Aria Armageddon. Kalau memang kau suka genre yang seperti itu, tentu saja.”
“Aku suka, kok,” jawab Rose.
Lalu, keduanya saling mengucapkan salam perpisahan. Rose membiarkan sepedanya membawanya menuruni Sparrow Hill, merasa seolah dia baru saja menyantap semua porsi Éclairs Ringan-Seperti-Udara.