The Bliss Bakery: Magic by the Mouthful

Noura Publishing
Chapter #2

Kue yang Hancur

“Oh, Sayangku!” seru Purdy. “Cepatlah turun sebelum kau terjatuh!”

Leigh tidak merespons, kecuali meraih sapunya, berusaha membersihkan noda terakhir tepung yang membandel. Lalu, dengan hati-hati dia memegang pengki yang telah penuh tepung, kembali turun dari dinding.

Bocah itu melangkah menuju tempat sampah dan membuang tepung kotor itu, kemudian sekali lagi mengentakkan tumitnya seakan dia adalah Dorothy di The Wizard of Oz.

Purdy memberikan Leigh pelukan erat. “Tolong jangan pernah memanjat dinding lagi.”

“Jangan kalau tanpa parasut!” tambah Rose. Dia seharusnya tidak meminta adiknya melakukan hal berbahaya. Namun, setidaknya perintahnya memberikan penjelasan akan suatu bahaya besar: Leigh telah dimantrai!

Namun, bagaimana caranya? Dan, oleh siapa?

“Selanjutnya apa?” tanya Leigh. Suaranya terbungkam celemek Purdy.

Rose bertanya kepada adiknya, “Bisakah kau ceritakan apa yang kau lakukan selama beberapa hari belakangan ini?”

“Ya, ya!” teriak Leigh. Dia berlari ke dinding dan memeluknya. “Aku panjat dinding, tinggi, tinggi, tinggi, dan membersihkan semuanya, sesuai perintahmu!”

“Sebelum itu,” sahut Rose. “Yang kau kerjakan sebelumnya.”

Leigh menuju konter, melompat dari dingklik, lalu menirukan gerakan menggiling adonan kue, kemudian menyalakan keran di bak pencuci. “Aku bantu-bantu membuat kue dan cuci peralatan!”

Kemudian, dengan sebuah entakan kaki yang membuat sebelah sepatunya terbang dan masuk ke pengaduk dan bergabung dengan pasangannya, Leigh melompat turun, meluncur di lantai dapur dengan kaus kakinya menuju pojok dapur. “Aku menunjukkan kepada Ty cara agar lengannya menjadi besar.” Leigh menaruh sebelah tangannya di balik punggung lalu menggunakan sebelahnya lagi untuk melakukan push up cepat sebanyak sepuluh kali. “Kau ratu olahraga, Mi Hermana,” Leigh berkata sambil menirukan suara. “Kau harus jadi pelatihku!”

Kemudian, Leigh memanjat pintu ayun menuju ruang depan toko roti. “Aku membantu Dad memasang kursi!” Dia menggosokkan tangan ke meja makan. “Dan, sebelumnya, aku bersama Sage!”

Rose dan Purdy mengejar Leigh saat bocah itu menuju lantai atas, dan mengempaskan pintu kamar Ty dan Sage. Kedua anak lelaki itu sedang tertidur—

Hingga saat Leigh melompat ke tempat tidur Sage dan mulai melompat-lompat.

Dengan mata terbelalak, Sage terduduk. “Gempa bumi! Seseorang, tolong bawa buku sketsa komediku!”

Sambil menguap, kakak lelaki Rose yang berusia enam belas tahun, Ty, datang dari balik gorden yang membagi ruangan menjadi dua. Akan ada banyak gadis di Calamity Falls High yang jatuh pingsan kalau melihat Ty tidak memakai kaus seperti ini, tetapi yang Rose sadari adalah kakaknya itu masih saja mengenakan celana basket yang belum dicuci seminggu penuh.

“Memangnya ini sudah siang, ya?” Biasanya rambut merahnya dilumuri gel dan ditata agar menyerupai ombak, tetapi dalam keadaan baru bangun, poninya menggantung seperti gorden di wajahnya. Ty menatap Leigh, lalu tatapannya tertuju kepada Rose dan Purdy. “Apa kalian tahu Leigh bisa melakukan push up dengan satu lengan? Itu muy increíble.”

“Apa dia mengatakan sesuatu tentang pertunjukan besarku?” tanya Sage dengan semangat.

Leigh berhenti melompat-lompat. “Aku membuat banyak tanda.”

Sage mengambil setumpuk selebaran berwarna neon pink dan jingga dan nenyerahkannya kepada Rose. “Selebaran. Untuk pertunjukan perdanaku.”

“Oh, Sage,” gumam Rose.

Belakangan ini, Sage menjadi terobsesi dengan peluncuran kariernya sebagai komedian, walaupun Dewan Panitia Pertunjukan Bakat Sekolah Dasar Calamity Falls telah mendeklarasikan bahwa aksinya “terlalu berani” untuk dipertunjukkan.

“Aku suka mendengarnya,” cetus Sage, menyentakkan tali suspender merah yang dia kenakan untuk audisi. “Terlalu berani! Di telingaku kedengarannya itu seperti sesuatu yang berbahaya.”

“Maksudku,” Mrs. Delfo mengklarifikasi, “kami tidak berani mempertunjukkan aksimu secara rutin.”

“Tidak apa-apa! Aku tidak butuh kalian!” seru Sage. “Dunia ini akan menjadi panggungku!”

“Selanjutnya!” Mrs. Delfo berteriak, sambil menyuruh Sage keluar.

Selanjutnya, satu-satunya panggung yang bisa dia temukan adalah bangku taman dengan lampu jalanan sebagai lampu sorotnya. Selebaran itu mengiklankan pertunjukannya—Penampilan Sage: Bercandalah Sesukamu—memiliki garis sisi geometris dan huruf tebal, dan di bagian bawah ada gambar Sage dengan rambut merah berantakan seperti rambut palsu badut, sedang mengacungkan dua jempolnya. “LUCU?” itulah tulisan yang tertera di sana.

“Aku tidak mengerti kenapa harus ada tanda tanya di sini,” gumam Sage sambil melirik ke arah bahu Rose. “Seharusnya ‘Lucu!’ Seperti sebuah seruan. Orang-orang menyukai kata seruan.”

Kau yang membuat ini?” Rose bertanya kepada adik perempuannya.

Leigh mulai melompat-lompat di atas kasur lagi. “Saat Sage melawak, kadang orang tertawa!”

“Kadang?” tanya Sage.

“Sayang,” Purdy berkata sambil meremas lembut bahu Leigh, “apakah semua ini benar-benar kau yang mengerjakannya?”

Leigh mengangguk kencang-kencang, lalu menarik ibu jarinya dari mulut. “Itu setelah makan malam. Sebelumnya, aku bermain di halaman dengan Gus, sebelumnya lagi, aku tidur siang karena kelelahan sehabis jalan kaki dari kantor pos.”

“Kantor pos!” seru Purdy, alisnya naik.

“Sendirian?” tanya Rose.

Leigh mengangguk. “Aku harus mengirimkan paket.”

“Paket apa?”

Lihat selengkapnya