Bliss Bakery #6: Magic by the Minute

Noura Publishing
Chapter #2

Tak Bisa Ditarik Kembali

“Oh tidak,” erang Rose, memerosot ke bilik makan tempat keluarga itu menyantap hidangan. “Me­reka memang mengutukku, ‘kan?”

Tahun lalu, Asosiasi Internasional Penggiling Adonan telah mencoba mencuri rahasia resep ajaib keluarga Bliss, berniat menyalahgunakannya untuk segala jenis perbuatan keji. Mereka berencana mengendalikan pikiran semua orang melalui kue-kue basi yang diproduksi massal, dan mencoba membuat semua pemimpin dunia mengalami koma sehing­ga anggota Penggiling Adonan dapat mengambil alih tem­pat mereka. Baru beberapa bulan yang lalu mereka mengi­rim tujuh bencana gula-gula untuk menebar keka­cauan di Calamity Falls. Air keran saja masih samar-samar terasa se­perti soda stroberi.

“Kau telah membuktikan bahwa menghentikan Peng­­giling Adonan sama sekali bukan masalah besar.” Lily mem­bungkuk untuk memeriksa oven yang hancur. “Tapi, tanda ini berasal dari sang Anjing, dan membuat sang Anjing terkesan adalah masalah yang sama sekali berbeda.”

“Seberapa susahnya, sih, membuat terkesan seekor an­jing?” Sage mengempaskan tubuh ke seberang sang kakak. Dia mengambil penjepit besi dari kantong di kakinya dan men­ceklak-cekliknya sambil berbicara. Ceklak ceklik. “An­jing itu penonton terbaik.” Ceklak ceklik. “Mereka suka semua la­wakanku.” Ceklak ceklik ceklak ceklik.

Lily tersenyum manis sambil merebut penjepit dari ta­ngan Sage. “Dia bukan sembarang anjing, Sage. Dia Master Agung, dan Rose harus membuktikan dirinya layak sebelum dia benar-benar bisa diberi gelar Master Pembuat Kue.”

“Tapi, resepku sudah ada di dalam Cookery Booke.” Rose melompat berdiri dari kursinya dan berjalan menuju konter dapur. “Statusku resmi!”

Dia membuka buku tebal penuh resep ajaib keluarga Bliss, langsung ke halaman belakang tempat resep buatan Rose sendiri muncul pada musim panas itu: Kue Jahe Co­kelat Persaudaraan. Namun, alih-alih kaligrafi meliuk-liuk yang menceritakan kisah Lady Rosemary Bliss dan resep­nya yang menyelamatkan nyawa, dia mendapati teks itu me­mudar, nyaris hilang. Pada halaman itu, terdapat cap ber­­tinta merah terang yang bertuliskan “MENUNGGU PERSE­­TUJUAN SANG ANJING.” Di bawahnya, juga ber­warna merah, ada cetakan tapak kaki seperti yang ada di balik per­ge­langan tangan Rose.

“Tapi, ini tidak adil!” seru Rose. “Semua orang bilang aku Master Pembuat Kue selama berbulan-bulan! Siapa an­jing ini? Kenapa dia harus memberi persetujuan segala?”

Lily menutup buku. “Bukan seekor anjing, Rose. Sang Anjing.” Raut penuh badai berkelebat di wajah cantik Lily, dan dia menambahkan, “Kita membutuhkan ibumu.”

“Mom ada di toko ujung jalan,” kata Sage. “Dia bisa kembali kapan saja—”

Pada saat itu, bel berbunyi tiba-tiba ketika pintu toko roti dibuka. “Di mana mereka?” desak suara seorang perempuan. “Penggiling Adonan tidak boleh menyentuh bayi-bayiku lagi! Tidak kali ini!”

Rose, Lily, dan Sage langsung menghambur ke ruang depan.

Purdy berdiri di pintu masuk yang terbuka, pohon-po­hon yang menjajari jalan di belakangnya melecut-lecut oleh embusan angin kencang—seolah dia pulang dengan begitu cepat sampai-sampai menimbulkan badai di belakangnya. Dia menghunuskan sendok kayu tebal bagaikan pedang.

“Penggiling Adonan tidak ada di sini,” kata Lily. “Anak-anak aman!”

Perlahan-lahan, Purdy menurunkan sendok kayunya. “Mrs. Carlson menelepon dan dia bilang dia mendengar ledakan. Kalau bahkan wanita itu saja bisa mendengarnya, kuduga keadaannya pasti buruk.”

“Mom, boleh aku masuk sekarang?” tanya suara me­lengking di belakang Purdy. “Kantong ini berat! Bisa-bisa aku jatuh!”

Purdy melangkah ke samping, dan adik perempuan Rose yang berumur empat tahun, Leigh, terhuyung-huyung membawa kantong rajutan berisi bahan makanan. Dia ha­nya berhasil bergerak beberapa langkah sebelum menja­tuh­kan kantong itu ke lantai ubin, lalu mengempaskan diri di sampingnya.

Purdy menutup pintu dan mengedus-endus udara. “Apakah itu asap?”

Dengan murung, Rose duduk di salah satu kursi meja kafe. “Aku kehilangan sentuhan master pembuat kueku, Mom!”

“Omong kosong,” kata Purdy sambil melepas jaket.

“Aku mengacaukan resep sepanjang hari. Bibi Lily bilang itu gara-gara seekor anjing,” kata Rose, “tapi aku bahkan tidak kenal anjing mana pun—”

Purdy menghentikan Rose dengan menepuk pundak­nya. “Anjing?” Dia berbalik menghadap Lily. “Kau yakin?”

“Lihat saja sendiri.” Lily meraih tangan kanan Rose dan membaliknya sehingga Purdy bisa melihat Tanda Tapak di pergelangan tangan gadis itu. “Tidak salah lagi,” sahut Lily. “Selain itu, sang Anjing membatalkan resep­nya.”

“Oke!” Rose berkata. “Aku mengerti! Ada seekor anjing, dan ... aku perlu membuatnya terkesan atau semacamnya.”

Purdy menghela napas, kemudian berdiri dan pergi ke pintu depan. Dia menguncinya dan memasang tanda “Tu­tup”. “Rosie, aku khawatir aku melupakan langkah ter­akhir untuk menjadi Master Pembuat Kue sejati. Ujianku sendiri sudah sangat lama sehingga rasanya seperti mimpi sekarang. Setelah resepmu ditambahkan ke Booke, aku hanya—kami semua hanya berasumsi bahwa statusmu sudah pasti.”

“Jadi, apakah sang Anjing ini orang, seperti Bliss yang sudah lama hilang dengan nama panggilan lucu?” Sage bertanya, berjongkok di sebelah Leigh untuk membongkar kantong belanjaan.

“Bukan orang,” terang Purdy. “Bahkan bukan binatang, meskipun dia suka menampilkan diri sebagai anjing dan su­dah memilih bentuk itu selama yang kutahu.” Dia duduk di seberang Rose. “Kurasa, kau bisa menyebut sang Anjing sebagai spirit, yang bertanggung jawab untuk menilai siapa pun yang mengambil gelar Master Pembuat Kue.”

“Ada yang menyebutnya Kanina Pelantikan,” kata Lily. “Penyalak Kepakaran, Penggonggong yang—”

“Cukup, Lily,” sergah Purdy, menangkup tangan Rose. “Sang Anjing itu … proktor, Rose. Dia mengawasi ujian dan mengukur kepantasanmu sebelum membiarkanmu ber­ga­bung dengan para penulis Cookery Booke.”

Rose merasakan beban berat di dadanya. “Belum cu­kupkah aku membuktikan diri?” Yang dia inginkan hanyalah membuat orang-orang bahagia dengan kue-kue buatannya, dan sekarang semacam spirit anjing ingin merenggut semua itu?

“Tentu saja cukup,” jawab ibunya. “Tapi, ini bukan ma­salah pribadi. Ini rintangan terakhir yang harus dihadapi setiap Master Pembuat Kue sebelum diizinkan untuk me­nambahkan resep ke Booke.”

Rose merasa itu agak masuk akal—seorang penjaga resep ajaib di Cookery Booke pasti tidak ingin sembarang resep baru ditambahkan begitu saja ke halaman-halaman­nya. Jika seseorang mencoba menyisipkan lengan ketiga pada Rose, dia juga ingin mencobanya, sebelum tambahan itu menjadi permanen.

Namun, meskipun idenya agak masuk akal, bukan berarti Rose harus senang karenanya. “Apakah kau juga harus mengikuti tes ini, Bibi?” Rose bertanya kepada bibinya.

Lihat selengkapnya