Rose menunggu di kamarnya sementara seluruh keluarga menyiapkan toko roti untuk upacara pemberian hadiahnya. Dia duduk di pinggir tempat tidur, menendang-nendangkan kaki sembari memandangi papan lantai.
Gerutuan berat Balthazar terdengar melayang dari bawah karpet ungu berbulunya—sebagai anggota keluarga Bliss yang tertua di tempat itu, sang kakek langsung mengambil alih tanggung jawab segera setelah dia sampai di rumah. Rose juga bisa mendengar bunyi keletak-keletuk sepatu hak tinggi Lily dan ding ponsel Ty ketika para cewek mengiriminya pesan singkat.
Rose tahu seharusnya dia berterima kasih atas bantuan semua orang, tetapi sulit untuk merasa senang ketika hadiah yang mereka berikan kepadanya adalah hal-hal yang tidak pernah ingin dia terima sebagai bantuan untuk melewati ujian yang tidak pernah ingin diambilnya. Apakah aku benar-benar ingin menjadi Master Pembuat Kue? dia bertanya-tanya. Mungkin hidup akan jauh lebih sederhana kalau—
“Kami siap untukmu, Rose!” ibunya berseru dari bawah. “Turunlah.”
Rose mengambil ranselnya, tas berwarna permen apel merah yang dibeli untuk tahun ajaran baru. Mau tak mau, dia menyadari gaun yang tersampir di sandaran kursi belajarnya, gaun putih dan kuning bermotif bunga sederhana. Dia bukan gadis yang suka mengenakan gaun sepanjang waktu—celana lebih praktis ketika dia bepergian mencari bahan-bahan sihir—tetapi pesta dansa pertama tampaknya merupakan momen yang sempurna untuk mengenakan gaun. Bibi Lily mengajaknya untuk memilih yang ini khusus untuk kencannya dengan Devin. Setelah mengenakannya dan berputar-putar di depan cermin ruang ganti, Rose merasa cerah dan percaya diri.
Namun, tidak ada yang bisa melihat putaran gaun itu malam ini.
Seraya memaksakan diri agar berpaling, Rose menyampirkan ransel di bahu, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju lantai bawah.
Toko roti itu gelap; kerai-kerai di jendela besar telah diturunkan, menghalangi seluruh dunia. Momen ini khusus untuk keluarga Bliss.
Rose menuruni beberapa anak tangga terakhir perlahan dan, bersama setiap pijakannya, nyala api tercetus hidup dalam kegelapan. Satu demi satu lilin menyala di seluruh ruangan—lilin ulang tahun putih tipis yang diletakkan di atas cupcake yang disusun di meja serta rak-rak dan konter pajangan. Pada saat Rose tiba di anak tangga paling bawah, cahaya hangat berpendar memenuhi toko roti.
Keluarganya berdiri di belakang meja kafe yang sudah diseret ke tengah ruangan. Balthazar, keriputnya tampak semakin dalam oleh bayang-bayang, berdiri di samping kucing abu-abu mereka, seekor scottish fold bernama Gus. Dan, di samping Gus ada si tikus Prancis kecil, Jacques. Yang tengah merangkul Purdy adalah ayah Rose, Albert, seorang lelaki jangkung, ramping, dengan rambut merah menyala seperti putra-putranya dan kumis yang begitu lebat sampai-sampai tampak telah memakan habis bibir atasnya. Lily berdiri di samping mereka, mengenakan gaun koktail hitam mengilap.
Sekonyong-konyong, ada pijaran cahaya terang dan Purdy menjangkau ke belakang untuk menepak lengan Ty. “Oke, oke,” bisik Ty, menyelipkan ponsel ke saku. Namun, pada saat itu, Rose sempat melihat Sage dan Leigh di samping saudara laki-laki mereka yang jangkung. Ketiganya bergerak-gerak gelisah.
Sejenak, Rose melupakan semua tentang pesta dansa itu. Tidak peduli tantangan apa yang dia hadapi selama setahun terakhir, keluarganya selalu ada untuk mendukungnya. Rose menelan gumpalan yang menyekat tenggorokannya.
“Gadis kecil kita sudah besar,” bisik Albert. Ibu Rose membersitkan hidung dan menyeka setitik air mata bangga dari matanya.
“Itu benar,” sahut Balthazar. Seraya membimbing Rose ke meja kafe, dia berkata, “Aku ingat saat aku mendapat Tanda Tapak. Sang Anjing mendatangiku sebagai pudel mini sebesar cangkir teh. Gangguan kecil yang memaksaku membawanya ke mana-mana dalam saku depan celanaku.”
“Dia sedikit berubah sejak saat itu,” sahut Rose.
“Begitulah yang kudengar.” Balthazar membantu Rose melepas ransel dan menaruhnya di lantai, kemudian menarik kursi agar cucunya bisa duduk. “Nah, upacaranya sederhana. Kami semua, satu demi satu, menyerahkan kepadamu pilihan kami untuk Hadiah dari Orang-Orang Terkasih. Begitu diberikan, hadiahnya harus diterima, dan harus digunakan selama ujianmu. Sampai sejauh itu paham?”
“Kurasa,” Rose menyahut.
“Apa kita bisa mulai?” tanya Ty. “Ada pesta dansa malam ini, dan aku harus memikirkan cara mengajak Tracy, Emily, dan Brittany tanpa seorang pun menyadari bahwa dia bukan satu-satunya cewekku.”
“Jangan bahas soal pesta dansa!” seru Leigh, menendang tulang kering kakaknya.
“Aduh!”
“Leigh, jangan menendang,” tegur Purdy. “Ty, berhentilah mempermainkan gadis-gadis. Sage, jangan menceritakan lawakan tentang Ty yang baru saja terpikir olehmu.”
“Awww,” sahut Sage, menjejalkan kedua tangan ke saku. “Bagaimana kau bisa tahu, sih, Mom?”
“Sudah semakin larut,” kata Lily. “Sebaiknya kita mulai.”
“Ide bagus,” kata Balthazar.
“Jangan lupa bahwa benda yang akan kalian berikan harus datang dari hati, kalau tidak itu tidak akan berguna,” kata Purdy. “Kalau ingin mencari sesuatu yang lain, sekaranglah kesempatan terakhir kalian.”
Semua orang berpandang-pandangan, tetapi tak ada yang bergerak.
“Kelihatannya beres, kalau begitu,” kata Balthazar. “Gus, kau tahu apa yang harus dilakukan.”
Kucing kelabu gemuk itu bangkit dengan malas-malasan lalu meregangkan tubuh. “Ah, ya, aku mengemban tugas paling penting,” katanya. “Pembawa tikus.”
“Bien sur,” sahut Jacques, berlari menaiki bagian samping tubuh Gus, lalu duduk di ceruk leher berbulu si kucing. “Bawa aku ke meja.”
Si kucing melompat ke atas meja di depan Rose. Gus mencondongkan tubuh ke depan ketika Jacques berdiri dengan kaki belakang. Tikus itu mengangkat seruling perak kecil ke moncongnya, lalu mulai memainkan nada dramatis yang mendayu-dayu.
Balthazar berdeham. “Penyerahan Hadiah dari Orang-Orang Terkasih segera dimulai.” Rose melihat sang kakek melirik kata-kata yang tertulis di telapak tangannya yang kisut. “Lady Rosemary Bliss dipersilakan mengambil tempat di kursi kehormatan, dan sang ayah, Albert Bliss, menyerahkan hadiah dari hati kepadanya.”
Albert maju selangkah, menarik selembar kain besar kaku dari balik punggung. Dalam cahaya lilin yang berkedip, Rose tak bisa melihat dengan jelas apa itu—kain tersebut bernoda pola berputar-putar yang gelap, dan sesaat Rose bertanya-tanya apakah sang ayah telah memberinya jaket kamuflase yang tadi sempat dikenakan Sage.
Butuh satu kali endusan pada kain itu bagi Rose untuk menyadari apa itu. “Celemek?”
“Bukan sembarang celemek tua biasa, Nak,” kata sang ayah, meraba ikat pinggang celemek yang sudah berjumbai. “Aku sudah menggunakan celemek ini sejak memanggang adonan biskuit pertamaku ketika masih seusiamu. Celemek ini selalu tergantung di dapur, tapi kau mungkin tidak menyadarinya. Semua noda ini membuatnya membaur dengan sekitar.” Ayahnya tampak senang ketika melangkah kembali ke sisi Purdy.
“Trims, Dad.” Rose menggosok kain itu di antara jemarinya. Bahannya kasar, dan bercak-bercaknya nyaris pudar. Kemudian, ditaruhnya celemek tadi di ranselnya, di atas kaleng susu kental manis dari Leigh. Rose merasa celemek itu akan berguna.
“Selanjutnya,” kata Balthazar, “bibi sang Lady, Lily Le Fay, dipersilakan menyerahkan kepada Rosemary hadiah dari hatinya.”
Lily melangkah ke depan, payet di gaunnya berkelap-kelip. Dia mendekap sebuah buku erat-erat. Bibir merah menyalanya menyunggingkan senyum lebar ketika dia menjulurkan tangan melewati Jacques dan Gus, lalu meletakkan buku tebal itu di meja.
“Buku masakmu,” kata Rose, mengenali judulnya: 30 Menit Sihir Lily. Buku masak itu dipenuhi versi kurang terkenal dari resep asli di Bliss Cookery Booke, tetapi satu-satunya bahan ajaib di dalamnya adalah bubuk biru-kelabu yang secara ajaib memaksa siapa saja yang memakannya untuk menjadi pemuja Lily Le Fay. “Trims,” kata Rose, bertanya-tanya apakah sang Anjing bahkan akan mengizinkannya untuk melihat isinya.
“Aku tahu kelihatannya ini tidak banyak artinya,” kata Lily. “Resep-resepnya tidak benar-benar … yah, bukan yang terbaik. Tapi, ini buku edisi khusus terbatas. Lihat.”
Bibi Rose memiringkan buku itu dari sisi ke sisi. Plastik prismatik keperakannya memantulkan cahaya lilin, dan ketika buku itu bergerak, begitu pula gambar Lily di sampulnya. Lily di sampul melambaikan tangan ke sana kemari dan mengedipkan sebelah mata dalam putaran holografis konstan.
Jacques berhenti bermain di pertengahan nada, kumisnya bergetar. “Itu … apa, ya, iztilahnya? Luar biaza!”
“Dengan cara ini, aku akan selalu berada di sisimu selama ujianmu,” kata Lily.
“Terima kasih,” kata Rose, menambahkan buku itu ke ranselnya. “Ini sangat berarti, Bibi Lily.”
Jacques melanjutkan permainan, dan Balthazar membaca tulisan di tangannya sekali lagi. “Selanjutnya, Rosemary Bliss menerima hadiah dari saudara lelakinya yang paling kecil—oh, cukup sudah semua omong kosong ini. Sage, giliranmu.”