Istana Valledafa
Marcelaus duduk gelisah di atas singgasananya. Sebentar-sebentar ia turun dan melonggokkan kepalanya ke jendela. Sebenarnya ia tak ingin hanya duduk diam menunggu para penyerang datang. Tapi sebagai raja, ia memang harus melindungi kerajaannya di ujung tombak. Bagaimanapun juga, ia tak boleh gegabah. Dua putranya di luar sana sedang berusaha keras menyelamatkan kaumnya.
Tiba-tiba pusaran angin dingin merembet masuk melalui jendela, uapnya seketika membekukan lilin dan obor yang menjadi satu-satunya penerangan dalam ruangan itu. Angin itu kemudian berputar cepat dan menjadiwujud aslinya.
"Seirin? Ada apa?" tanya Marcelaus kaget mengetahui bahwa sang Aiseu Phoenix itu kembali menjumpainya. Gadis cantik dengan sekujur tubuh yang terbuat dari es abadi itu menundukkan kepalanya. Sebagai penguasa tertinggi bukit Himalaya , Seirin Hale, yang juga menjadi 'adik angkat' Marcelaus selalu aktif memberikan hasil pantauannya tiap saat tentang keadaan The Dark Blackwood. Itu karena istana Himalaya terletak di puncak tertinggi tepat kepala hutan Blackwood, jadi apapun terlihat dari sana.
"Bagaimana?" tanya Marcelaus begitu Seirin hendak membuka mulut. Pria itu terlalu tidak sabar untuk mengetahui hal terbaru yang bahkan tak bisa ia dapatkan dari hasil telepatinya pada Dave dan Ye Sung.
Seirin mendesah pelan. Sangat kentara jika ia gelisah. Mata biru transparannya menatap lirih pada sang kakak, sementara Marcelaus menunggu adiknya membuka mulut.
"Semuanya buruk, kak. Buruk sekali––"
"Apa? Cepat katakan!" Marcelaus akhirnya mencengkram bahu mungil Seirin lalu mengguncang pelan. Tak sabar.
"Siren di Danau Achauntez dibangkitkan oleh seorang Jullien, namun untuk saat ini berhasil disegel oleh dua manusia––"
Marcelaus serta merta melepaskan cengkeramannya begitu mendengar kata manusia. "Manusia katamu? Bagaimana bisa masuk ke dunia kita?"
Seirin menggelng pelan lalu melanjutkan laporannya.
"–– mereka adalah orang-prang dari Tuan Cavendish, orang yang bertugas melindungi permata Daerheinlocca. Tuan Cavendish pun ada di sini, hanya keberadaannya tak bisa kudeteksi," ujar Seirin pelan.
Marcelaus manggut-manggut. Ia beberapa kali bertemu dengan Cavendish, terakhir saat ia menghadiri pembakaran Cezaire bersama Daerheinlocca palsu puluhan tahun silam. Marcelaus tahu betul jika Cavendish adalah manusia-manusia penjaga permata itu.
"Aku akan mencari keberadaan Cavendish lebih lanjut, kak," ujar Seirin. Ada nada patuh dalam suaranya yang lembut. Marceaus kemudian teringat pada Ryeon Woo.
"Lalu... kemana Yaricha membawa Ryeon Woo?" tanya Marcelaus pada Seirin. Gadis itu menatap mata sang kakak dengan tegas.
"Dia membawanya ke tempat di mana cahaya bulan tak terhalang."
************
Ye Sung dan Dave berlari secepat kilat membelah kegelapan hutan Blackwood. Mereka benar-benar memusatkan pikiran, menghirup udara sebanyak-banyaknya agar bisa mengetahui di mana bau tubuh Ryeon Woo.
"Himalaya!" teriak Dave setelah membaca pikiran Ye Sung yang bertanya-tanya di mana kiranya Yaricha melarikan Ryeo Woo. Ye Sung memutar arah larinya tanpa membalas sahutan kakaknya. Ia sudah berubah lagi ke wujud manusianya meski hatinya masih geram dan menyalahkan dirinya sendiri atas kecerobohannya yang mempercayakan Ryeon Woo begitu saja pada si Dave palsu.
"Ye –– bukan salahmu. Maaf. Seharusnya aku tidak meluluskan keinginannya untuk keluar istana," desah Dave saat ia berhasil menyejajarkan langkahnya dengan sang adik.
Ye Sung menoleh dengan enggan, namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tetap berlari mencari jalan.
"Kau pelindung Ryeon Woo 'kan?"
Tersentak dengan satu kalimat itu. Jeremy langsung menghentikan langkahnya. "Maaf tak memberitahumu."
Ada rasa bersalah menyelinap dalam suara Ye Sung meski hatinya masih terbakar amarah. Namun ketahuan seperti itu rasanya tidak mengenakan ia memang berniat merebut Ryeon Woo dari tangan Dave, tapi tidak dengan menggunakan hubungannya sebagai pelindung gadis itu.
Dave tersenyum dan mengangguk.
"Tak apa jika kau memang berniat merahasiakannya dariku," sahutnya. Sejujurnya Dave secara tak sengaja mendengarkan percakapan Ye Sung dan Ryeon Woo beberapa hari yang lalu tentang 'mereka'.
"Tapi Ye... Aku akan tetap mempertahankannya sebagai Reigga-ku. Kalau kau menginginkannya, seperti perjanjian kita. Rebut dia dariku," ujar Dave serius sembari melemparkan senyumannya. Ye Sung tercengang.
Ini dia.
Dave.
Penghalang yang sebenarnya menuju Ryeon Woo. meskipun ia bisa merebut hati Ryeon Woo dengan menjadi pelindungnya, pada kenyataannya dia belum bisa memiliki gadis itu seutuhnya.
"Aku masih mengingatnya kak. Setelah perkara permata itu selesai, baru kita selesaikan urusan kita," ujar Jeremy mantap. Dave menepuk pundak adiknya pelan.
"Karena itulah.... kita harus tetap hidup sampai akhir. Dan kau... aku juga tentunya, akan menjaga gadis itu sampai akhir."
Sportif. Itulah yang diinginkan dua pria itu. Meski bersaing, pada akhirnya salah satu dari mereka harus mengalah atau dikalahkan. Ye Sung tersenyum samar pada sang kakak yang menatap ke depan dengan mantap. Bagaimanapun juga, ia bisa mendapatkan Ryeon Woo.
********
Puncak Himalaya
Angin bertiup kencang, meniupkan dinginnya hawa salju abadi yang menyelimuti salah satu puncak tertinggi di Himalaya, Mount Everest. Bulan merah bertahta di puncak langit yang bersih tanpa sedikit awan pun. Cahaya bintang memudar karena terangnya sang bulan merah.
Ryeon Woo terikat keras di sebuah batu besar dan tersinari oleh cahaya merah bulan secara penuh. Wajahnya mengeras karena kesal. Di sisi kiri kanannya, ada sepasang obor yang apinya menyala biru. Dilihat dari atas, sebenarnya Ryeon Woo berdiri di atas sebuah lingkaran yang berisikan sebuah lambang segilima dengan garis-garis penghubung seperti bintang yang ditengahnya terdapat lingkaran kecil berwarna merah. Warna merah itu bukan cat melainkan darah yang entah didapat Yaricha darimana. Tali pengikat kristal yang ditumbuhi dedaunan perak yang bergerak-gerak hidup. Jika Ryeon Woo bergerak sedikit saja, maka tali itu akan memanjang dan mengeratkan ikatannya. oleh karena itu Ryeon Woo memilih diam.
Ada sorot kemarahan menggelegak dalam bola mata biru safir itu. Warna rambut Ryeon Woo juga perlahan memutih, sama seperti ketika ia mulai pingsan saat bersentuhan dengan Dave. Tapi kali ini ia dalam keadaan sadar. Ryeon Woo merasakan, sesuatu yang ia miliki mulai bereaksi dalam tubuhnya.
Sementara itu, Yaricha -- sang penyihir -- berdiri dihadapan Ryeon Woo. Di hadapannya terdapat batu pipih yang melayang begitu saja di udara. Di atas batu itu terdapat sebuah benda yang dibungkus rapat dengan kain putih. Penyihir itu tersenyum licik di balik tudung hitamnya. Jemarinya yang kurus, putih, dan nyaris mirip tangan tengkorak itu meraba pelan bungkusan di atas batu itu. Kemudian, ia menjentik pelan dan kain itu terlepas dari apa yang diselongsongnya.
Desir angin bertambah kencang. Ryeon Woo merasakan tamparan begitu keras dari sang angin di pipi halusnya. Di kejauhan, suara serigala lolong-lolongan, bersahutan dan membuat gadis itu refleks mendongak. Ia melonglong sekeras-kerasnya, namun tak ada satu pun gema yang memantul di dinding-dinding gunung.
"Percuma, bodoh. Lingkaran yang kau injak telah mengunci semua kekuatanmu!" Desis Yaricha. Penyihir itu menggerak-gerakkan jemari kurusnya di udara dan belati di atas batu itu melayang perlahan menuju si pemanggil. Begitu tergenggam di tangannya, Yaricha tersenyum licik sambil menjilati belati dengan ukiran klasik yang berisikan butiran permata di bilah kirinya. Belati yang tadi terbungkus kain putih itu kini membuat cahaya rembulan tersedot ke dalamnya.
"Si-sialan kau!" Ryeon Woo mendesis. Gerakan refleksnya saat melolong tadi mengakibatkan sulur pengikatnya kini mulai mencekik lehernya.
"Aku akan mengambil permata itu, Nona Braune. Tidak akan sakit, hanya seperti digigit semut," ujar Yaricha sambil berjalan mendekati Ryeon Woo. Tudung penyihir itu sudah terbuka oleh angin, memperlihatkan wajah cantik tanpa cela milik Yaricha. Deretan gigi putihnya tampak berkilau di kegelapan.
Perlahan, Yaricha berjalan memutari batu tempat Ryeon Woo terikat. Tangan kanannya yang bebas meraba lembut pundak dan rambut Ryeon Woo. Setelah menggoda. Lalu Yaricha mengarahkan belatinya ke perut kanan Ryeon Woo, namun diurungkannya.
"Ah... Sepertinya akan ada tamu," desisnya pelan sambil berbalik membelakangi Ryeon Woo. Tawanya kemudian menggema, membuat Ryeon Woo bergidik.
"KAU TIDAK BISA SEENAKNYA PENYIHIR!"
Ryeon Woo mendongak ke arah dua orang yang kini menantang Yaricha. Seorang pria dan wanita yang sama sekali tak dikenalnya. Tapi dari bau manis yang menguar dari tubuh dua orang itu, Ryeon Woo mengetahui kalau mereka adalah vampir. Yah... Vampir yang tentunya mempunyai tujuan yang sama dengan Yaricha. Mengambil Daerheinlocca dari tubuhnya.
"Ahh. Akhirnya kalian datang. Tidak seru jika aku bisa dengan mudahnya mencongkel Daerheinlocca dari perut anjing bodoh ini!"
Euricha dan Aiden menatap dengki pada Yaricha. Dalam keremangan malam, di bawah sinar merah rembulan, Aiden dan Ryeon Woo menyadari satu hal yang sama.
Yaricha dan Euricha. Raut wajah mereka hampir sama. Sama-sama menorehkan kelicikan di matanya, dan juga senyum sinis yang sama. Hanya saja, Euricha terlihat lebih tomboy dengan rambutnya yang diikat ke samping.
"Kami tidak akan menyerahkan permata itu padamu, penyihir! Permata itu dulu milikku, dan sampai kapan pun akan jadi milikku!" Sergah Aiden dengan memasang kuda-kuda di hadapan Yaricha.