**
かつて狙われた血が、
逃げられない身体に流れている。
-Katsute nerawareta chi ga,
nigerarenai karada ni nagarete iru-
⛩️🏮⛩️
Kyoto.
Hujan turun seperti dendam yang tak pernah usai. Malam itu gelap, bukan karena awan semata, tapi karena sesuatu di udara—sesuatu yang tua dan berat seperti kutukan. Langit tampak seperti tirai abu-abu yang menghitam perlahan, tanpa cahaya, tanpa suara selain gemuruh yang menggertakkan dada.
Dari jendela belakang paviliun tua milik salah satu rumah cabang di daerah Kyoto, seorang wanita bangkit dengan susah payah. Rambutnya basah oleh keringat, kain yukata-nya penuh noda darah yang belum sempat mengering. Di pelukannya, seorang bayi merah yang baru saja dilahirkan, belum sempat menangis dengan sempurna.
Rin.
Bukan istri. Bukan selir resmi. Hanya seorang penghibur kelas bawah yang terlalu cantik untuk disia-siakan. Tapi malam ini dia bukan siapa-siapa kecuali seorang ibu. Dan bayi yang didekapnya adalah darah yang seharusnya tidak boleh ada.
Wajah Rin pucat pasi. Tubuhnya masih gemetar, bukan hanya karena sakit persalinan yang baru saja dilewatinya tanpa bantuan medis layak, tapi juga karena rasa takut yang menusuk dari balik tulang. Di sampingnya, seorang bidan tua memasukkan handuk kotor ke dalam ember, lalu menoleh ke arah pintu dengan gugup.
"Moo jikan da (Sudah waktunya)," gumamnya lirih, layaknya lantunan doa.
Yamaguchi Kuroda telah menunggunya di sisi gelap halaman belakang, di balik taman bambu yang terlupakan. Mantel hitamnya menyerap cahaya, menyatu dengan hujan dan malam. Mata lelaki itu tak pernah lepas dari jalan sempit yang mengarah ke bangunan utama.
Pintu terbuka perlahan. Kuroda melangkah masuk, mantel panjang dan sepatu kulit hitam mengilapnya membuat langkahnya terdengar berat. Wajahnya kaku seperti patung batu. Tatapannya jatuh pada bayi kecil di dada Rin, terbungkus selimut tipis yang nyaris tidak melindunginya dari dinginnya malam.
"Onna da," (Dia perempuan) kata Rin dengan suara nyaris lenyap. "Ikite iru." (Dia hidup)
Kuroda tidak menjawab. Ia hanya memandangi bayi itu lama, dalam diam yang menyembunyikan banyak hal.
Lalu ia menoleh pada sang bidan.
"Iu koto wa wakatte iru na?" (Kau tahu apa yang harus kau katakan, bukan?) suaranya dingin seperti musim dingin yang membunuh.
Bidan mengangguk cepat, tubuhnya gemetar. "Akachan wa kikei de umareta... Iki ga nakatta... Shibō todoke wa yōi shita. Yatsura wa utagawana i."
(Bayi lahir cacat... tidak bernafas... saya sudah siapkan akta kematian. Mereka takkan curiga)
Kuroda membuka mantel hitamnya. Di dalamnya tersembunyi kain tebal dan kantong kecil berisi dokumen palsu serta uang tunai. Ia mengeluarkan selembar tiket kereta dan secarik alamat yang diketik rapi.
"Naik kereta terakhir ke arah pegunungan selatan malam ini, lalu turun di stasiun kecil bernama Minamigawa. Lanjutkan dengan naik bus menuju desa Shugitani." Suara itu datar. Tidak terburu-buru, tapi juga tak memberi ruang untuk penolakan.
"Di ujung desa itu, ada rumah kecil yang sudah kusiapkan. Namamu sekarang Nakamura Misao. Kau tak pernah ada di rumah ini, tak pernah mengenal nama Yamaguchi. Anak ini keponakanmu, bukan anakmu." Suaranya menurun. Tapi justru terasa lebih tajam. "Sembunyikan dia dengan seluruh nyawamu."