Desakan terbesar kepada Finn dan Sandra untuk segera menikah memang memiliki latar belakang. Salah satunya adalah karena Diana dan Helena ikut arisan istri-istri pengusaha.
Setiap satu bulan sekali rutin dilakukan dengan bergilir. Kegiatan pada umumnya saja. Siapa nama yang keluar, bulan depan berkumpul di rumah sang pemenang.
Secara kebetulan, Diana dan Helena ikut dalam kegiatan yang sama. Keduanya selalu merasa keki sekaligus jealous ketika teman-teman arisan mereka membanggakan para menantu.
Diana dan Helena juga ingin melakukan hal yang sama seperti mereka. Namun, tidak bisa.
Bahkan, banyak yang menceritakan cucu-cucu mereka yang menggemaskan. Pembicaraan tersebut semakin membuat Diana dan Helena tak sabar untuk menyuruh sang anak menikah.
“Jeng Diana, kenapa tidak menjodohkan saja putranya dengan putri Jeng Helena? Bukankah mereka sama-sama masih single?” Salah satu istri pengusaha memberikan ide perjodohan.
Diana dan Helena saling melempar pandangan, tetapi dengan pemikiran masing-masing.
Anak baik dan sopan seperti Sandra, memangnya setuju dijodohkan? Secara Finn playboy kelas kakap. Kasihan nanti kalau hanya menjadi permainan. Duh, memang bikin emosi saja anak itu. Entah menurun dari mana sifat buruk begitu? Diana membatin, kesal.
Jeng Diana ini istri pengusaha sukses. Anaknya dengar-dengar CEO. Apa mau sama Sandra? Anak itu, anggun saja tidak. Berisik, iya. Mana ribut terus dengan Tristan. Mau bilang ‘setuju’ juga aku tahu diri. Pasti putranya akan menolak. Helena membatin sedih sekaligus kesal.
***
Sementara itu, di sebuah tempat latihan menembak, suara tembakan terus berbunyi. Papan sasaran di depan menjadi tempat mata berfokus. Olahraga yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Kesabaran dan ketelitian juga sama diperlukan untuk membidik target agar tepat sasaran.
Sandra melepas ear protector.
“Good, Sandra!” puji Pak Wira, Instruktur Profesional yang mendampingi Sandra.
“Wow! Mataku mulai panas. Padahal baru 20 peluru.” Sandra tertawa.
Pak Wira menepuk bahu Sandra. “Sudah banyak kemajuan. Caramu menembak semakin baik.”
“Berarti sebentar lagi aku bisa memiliki senjata api, ya, Pak Wira?”
“Tentu. Kalau sudah memilikinya, gunakan dengan bijak.”
“Siap.”
“Ayo, kita mulai lagi!”
“Oke.”
Sandra kembali memakai ear protector, lalu mulai membidik lagi target di depan. Satu kali tembakan berhasil mengenai tepat di tengah.
Wajah Sandra semringah dengan bibir tersenyum senang. Ia melepaskan ear protector.
Kemudian, Sandra mendengar tepuk tangan meriah. Seseorang yang berdiri tak jauh dari sang desainer interior yang melakukannya.
Sandra menoleh. Ia tercengang melihat siapa sosok tersebut.
“Finn! Apa kabar?” sapa Pak Wira.
“Kabar baik, Pak Wira.”
“Sudah lama tidak ke sini? Sibuk sekali rupanya CEO kita ini.”
Finn tertawa kecil. “Begitulah.” Kemudian, Finn menatap Sandra. “Apa kabar, Sandra?”
“Lo, kalian saling mengenal?” tanya Pak Wira.
“Tentu, kita berdua sangat dekat. Bukan begitu, Sandra Rein?” jawab Finn dan balik bertanya kepada sang desainer interior.
“Ah, kau ini Finn, selalu pintar memilih wanita. Tapi, kali ini kau harus berhati-hati. Berani menyakitinya, bisa di dor kepalamu. Bukan begitu, Sandra?”