Enam bulan bersama dengan ketenangan tengah dirasakan Sandra. Masa-masa was-was dan kesal akibat polah sang ceo, telah berakhir. Pemikirannya, kata-kata pada pertemuan terakhir mereka mampu membuat Finn tak lagi berani mengganggu.
Sandra kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Bahkan, semakin hari sangat sibuk.
Pasalnya, benar yang diucapkan Tristan. Setelah bekerja dengan baik untuk Liam Group, lalu mengunggah pada media sosial perusahaan, klien akan berdatangan, itu yang tengah terjadi.
Media turut memberitakan perihal CEO Liam Group yang menggunakan jasa perusahaan milik keluarga Sandra. Hanya selang beberapa jam dari berita itu turun, semakin saja ramai klien datang ingin menggunakan jasa mereka untuk renovasi, merancang dekor ruangan, dan lainnya.
Kebanjiran job, tentu membuat Tristan dan Sandra tersenyum bahagia. Bersama tim, mereka bekerja sangat keras untuk proyek-proyek di depan mata.
“Kak, ada apa? Aku sibuk. Ada deadline gambar untuk besok.” Sandra masuk ke ruangan Tristan dan berhenti tepat di depan meja sang kakak.
Suara berdeham membuat Sandra menoleh. Teriakan pun tak terelakkan saat melihat siapa di belakangnya. “VIVIAN! AH, KANGEN!” Ia langsung menubrukkan tubuhnya pada sang sohib.
“Aku juga kangen, Sand.”
Sandra dan Vivian melepas pelukan dan saling berpegangan tangan. Kemudian, berputar-putar gembira dengan wajah semringah.
Tristan tersenyum melihat kelakuan dua orang wanita tersebut. Ia pun sudah menganggap Vivian seperti adik sendiri.
Vivian merupakan tetangga sekaligus sahabat Sandra sejak masih berbentuk janin seukuran biji. Mereka berdua sangat dekat satu sama lain. Status pun kompak, yakni sama-sama masih jomlo.
Vivian kuliah di luar negeri. Sehingga keduanya harus berpisah sesaat. Di tambah, wanita cantik berambut panjang, tetapi berwajah dingin itu sempat bekerja beberapa tahun di Negeri Kanguru. Jadilah, kerinduan teramat dalam menyergap.
Tristan mendeham. “Ingat, lagi dikejar deadline.”
Sandra menoleh seraya melempar tatapan tajam. “Iya, tahu bos. Aku kelarin sekarang. Habis itu, aku pulang, ya, mau hangout sama Vivian.”
Tristan belum juga memberi balasan, Sandra sudah menarik Vivian keluar ruangan. Pria itu hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan sang adik.
***
Sudah lama rasanya Sandra tidak tertawa bersama Vivian. Mereka berdua menikmati waktu sejak pukul tiga sore. Saat malam tiba, keduanya memutuskan pergi ke club di salah satu bilangan Selatan, Jakarta.
Waktu pun sudah menunjukkan pukul sebelas. Namun, keduanya belum berkeinginan untuk pulang.
Sandra dan Vivian boleh dibilang merupakan wanita-wanita penyuka shopping, traveling, dan hobi ekstrem. Mereka pun memiliki prinsip hidup yang juga nyaris sama, yaitu membahagiakan diri sendiri itu penting.
Ketika berada di club, jangan berpikir Sandra dan Vivian mabuk-mabukan. Jus adalah minuman yang tersaji di atas meja. Mereka datang ke tempat tersebut hanya ingin berjoget gembira di bawah lampu kelap-kelip.
“SEJAK KAMU KE LUAR NEGERI, AKU ABSEN DATANG KE CLUB! BORING SENDIRIAN!” teriak Sandra sambil terus berjoget.
“SAMA! AKU JUGA SUDAH LAMA GAK KE CLUB! KITA MEMANG OTOMATIS CUPU KALAU TERPISAH!”
Keduanya tertawa bersama.
Lelah berjoget. Sandra dan Vivian memutuskan kembali ke meja.
“Vi, aku ke toilet dulu.”
“Oke.”
Sepuluh menit berada di dalam toilet, Sandra keluar. Namun, tepat di depan pintu. Dua orang pria setengah mabuk menghadang. Sialnya, suasana sekitar tengah sepi.
“Hai, Cantik! Ayo, kita bersenang-senang bersama,” ajak salah satu dari mereka seraya mencoba menyentuh pipi Sandra
Sandra menepis kasar tangan tersebut. “Berengsek!”
“Alah! Enggak usah sok jual mahal. Berapa hargamu? Kita bisa bayar.”
Sandra mengepalkan kedua tangan, ia sangat siap untuk meninju. Namun, baru saja mau melayangkan, seseorang sudah lebih dulu melakukan.
“Finn.”
Setelah peristiwa terakhir bersama Finn. Sandra bertekad untuk membentengi diri dengan salah satu ilmu bela diri. Sudah enam bulan ini, ia berlatih dengan latihan intensif satu Minggu sekali.
“Mundur, Baby,” perintah Finn lembut, tetapi wajahnya menyiratkan kemarahan dengan arah pandang tajam kepada kedua pria mabuk itu.
Finn meninju wajah dan perut keduanya. Beberapa kali melakukan, mereka sukses tergeletak di lantai.
Finn menendang pelan tubuh keduanya untuk memastikan kalau mereka sudah tak berdaya. Setelah yakin, ia menghampiri Sandra seraya memegang kedua pipi berona merah muda itu.
“Baby, kamu baik-baik saja?”
Belum Sandra menjawab, petugas keamanan club datang. Salah seorang dari mereka bertanya, “Bos, kalian tidak apa-apa?"
“Ya. Bereskan mereka. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi! Mengerti?”
“Baik, Bos Finn.”
Petugas keamanan bertubuh besar-besar segera membawa kedua cecunguk tersebut.
Finn merupakan pelanggan tetap yang cukup royal di club. Jadi, tak heran jika ia begitu dikenal.
“Sekarang kita pulang dan jangan pernah lagi datang ke tempat seperti ini.” Finn menarik tangan Sandra.
Sandra mengernyit. Pulang? Lo, tunggu. Ada Vivian, batinnya.
“Finn, lepas!”
“Tidak! Kita pulang.”
“Finn, aku tak mau pulang!”
“Kamu mau apa lagi? Kurang puas tadi sudah diganggu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Misalnya di bawa ke hotel!” Nada bicara Finn agak tinggi. Ia mengkhawatirkan Sandra.
“Lepas! Tidak usah ikut campur urusanku. Aku bisa menjaga diri!” Sandra mencoba melepas pegangan tangan Finn, tetapi tak berhasil.
“Menjadi urusanku kalau itu menyangkut dirimu!” Finn menatap lekat Sandra. “Kita pulang. Jangan membantah!”
“Finn! Aku tak mau pulang. Masih ada Vi ... FINN! TURUNKAN!”
Kesal dengan penolakan Sandra. Finn langsung menggendong wanita itu ala karung beras.