Senyum tak lepas dari bibir Finn. Pria itu seperti mendapat durian runtuh akibat berduaan kemarin di ruang piano.
Berbanding terbalik dengan kondisi Sandra. Ia menegang. Wajahnya pucat pasi. Karena kejadian kemarin dianggap sebagai memiliki hubungan yang serius dengan Finn. Padahal, baru saja mau mulai memberi kesempatan dan membuka hati.
Bahkan, Diana dan Helena kemarin langsung mengatakan kalau Finn dan Sandra harus segera menikah. Alasan mereka karena terlihat berduaan sambil berpegangan tangan. Tentu alasan tersebut dibesar-besarkan kedua wanita paruh baya itu.
Diana sangat berbahagia. Bagaimana tidak, calon menantu idaman ternyata wanita yang sang putra cinta. Ia sudah pasti tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Undangan makan malam dari keluarga Finn pun segera dilayangkan kepada keluarga Sandra.
Helena tentu menyambut baik. Ia sangat senang melihat kenyataan bahwa sang calon menantu adalah putra Diana.
Diana dan Helena secara diam-diam mulai menyusun rencana.
Saat ini, kedua keluarga berada di sebuah restoran mewah sebagai tempat pertemuan. Hanya Tristan seorang yang tidak hadir. Karena, pria itu sedang berada di luar kota untuk bertemu klien.
Usai makan malam, Diana dan Helena tanpa banyak berbasa-basi lagi langsung melancarkan rencana mereka.
“Kita tetapkan saja langsung tanggal pernikahan. Toh, Finn dan Sandra sudah saling mencintai.” Diana memulai aksinya.
Hah! Kata siapa saling mencintai, Tante. Aku baru mau membuka hati. Ya, Tuhan! Ternyata Mami Finn dan Bunda tak jauh berbeda, batin Sandra.
“Setuju.” Helena menyahut.
“Sebaiknya kita tanya terlebih dahulu kepada Finn dan Sandra. Apakah mereka benar sudah siap atau belum untuk menikah?” Theo memberi saran.
“Ya, benar. Kita tanya lebih dulu.” Chris menimpali.
“Mereka pasti sudah setuju, Pi.” Diana menyela.
“Mami. Kita tanya dulu.”
“Iya, Pi.” Diana mengalah.
“Bagaimana Finn, kamu sudah siap untuk menikah?” Chris bertanya kepada sang putra.
“Finn sangat siap, Pi,” jawab Finn cepat dan tegas seraya tersenyum manis.
“Sandra, bagaimana denganmu? Sudah kamu pikirkan atau belum?” tanya Theo.
Sandra terdiam. Ia menatap semua orang yang berada di meja.
“Aku ... aku ....”
Semua orang menatap Sandra dengan serius untuk menunggu jawaban apa yang akan keluar dari bibir berwarna pink itu.
Finn pun menunggu jawaban dengan degup jantung cukup cepat. Ia khawatir penolakan akan terjadi.
Sang ceo menatap lekat Sandra seraya terus merapal doa. Berharap wanita yang ia inginkan menjadi pelabuhan terakhir itu mengatakan ‘iya’.
“Sandra, bagaimana?” Diana bertanya.
“Maaf, Tante. Aku ...,” Sandra menggantung ucapannya.
Finn terdiam dengan perasaan tak menentu.
“Sandra, ayo teruskan kata-katamu,” perintah Theo.
Helena terlihat gemas dengan sang putri. Ia meremas pakaiannya sendiri. Ingin sekali berteriak kepada Sandra agar menerima saja, tetapi malu kepada calon besan. Takut karena ulahnya justru membuat mereka hilang feeling.
Sandra menatap Diana. “Tante, aku tidak bisa memasak. Khawatir nanti saat berumah tangga hal ini akan menjadi masalah. Aku kurang begitu suka berada di area dapur untuk melakukan hal tersebut. Maaf. Aku bukan calon menantu idaman.”
Helena menundukkan kepala. Ia malu oleh kejujuran sang putri. Pupus sudah harapannya memiliki calon menantu dari keluarga terpandang.