“Cinta.” Sandra tersenyum. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas kasur dan lekas pergi ke alam mimpi.
Tiga puluh menit berlalu, mata masih belum terpejam. Kegelisahan membuat hati tak tenteram. Hingga tubuh pun bergulung di dalam selimut dengan balutan cahaya lampu temaram. Namun, rasa tak tenang tetap bersemayam.
Oh, malam, berikanlah rasa nyenyak dan nyaman. Enyahkanlah segala keresahan. Jernihkanlah pikiran. Datangkanlah ketenangan.
Mata, terpejamlah.
Raga, istirahatlah.
Jiwa, santailah.
Selang beberapa menit kemudian, Sandra bangun dan berteriak, “Finn!”
Esok menyongsong hari baru, tetapi hati Sandra menjadi tak keruan.
Akad nikah akan berlangsung pada pagi hari. Oleh karena itu, kedua mempelai dan seluruh keluarga memutuskan untuk menginap di hotel milik keluarga Liam sekaligus tempat menyelenggarakan acara pernikahan.
Sandra atau Finn tidak saling bertemu. Terakhir pertemuan mereka saat fitting baju pengantin. Selanjutnya, titah Diana dan Helena melarang keduanya bersua lagi secara langsung.
Sandra dan Finn menurut.
Sandra pun berada di dalam kamar hotel sendirian setelah keluarganya pamit untuk tidur. Ia mengambil ponselnya di atas laci. Lalu, membuka aplikasi hijau.
“Telepon Vivian aja kali, ya, untuk menemani.”
Baru saja Sandra mau mencari kontak Vivian. Namun, justru nama Finn terpampang di layar lebih dulu.
“Finn. Video call? Duh, gimana, nih? Aku gugup.” Sandra menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Kemudian, Sandra menggulir tombol hijau ke atas.
Wajah Sandra dan Finn sudah muncul di layar ponsel.
“Baby, kamu tidak bisa tidur juga?”
Finn memutuskan untuk menghubungi Sandra begitu melihatnya sedang online.
“Iya.”
“Aku merindukanmu.” Finn tersenyum.
Aku juga merindukanmu.
“Aku ... resah dan gelisah.”