Pagi hari di meja makan keluarga Theo. Vivian datang membawa suasana menjadi ramai. Ia ikut sarapan bersama.
Sudah dua hari, Vivian berkunjung untuk sekadar sarapan atau makan malam. Hal tersebut sangat biasa terjadi ketika kedua orang tua wanita itu berada di luar kota atau luar negeri.
Tak ingin merasa kesepian. Jadi, lebih memilih ikut bergabung dengan keluarga tersebut. Toh, wanita itu sudah dianggap anak juga.
“Trist, nebeng, ya? Mobil masuk bengkel.” Vivian berucap santai sambil menyendok nasi goreng ke atas piring.
“Mau ke mana? Butik?”
“Enggak. Sampe perempatan aja. Nanti dari sana aku jalan kaki.”
“Biar aku antar sampai toko.”
“Entar telat. CEO harus menjadi contoh baik.”
Sudah dua hari, Tristan resmi menjabat sebagai CEO Luxury Interior Design menggantikan sang ayah. Theo menyerahkan perusahaan sepenuhnya kepada si sulung. Karena, ia merasa akhir-akhir ini kesehatannya menurun.
“Tidak apa, Vivian. Biar Tristan antar. Telat sesekali untuk seseorang yang penting atau keadaan penting tidak menjadi masalah,” sela Theo.
“Berarti aku penting, Yah.”
“Tentu saja. Kamu kan anak Bunda dan Ayah juga,” sahut Helena.
Theo mengangguk menyetujui ucapan sang istri.
Vivian tersenyum. “Makasih Ayah, Bunda." Kemudian, menoleh ke arah Tristan. "Sekalian temenin pilih bahan baru, ya, Trist?”
“Ini namanya dikasih hati minta usus!” sewot Tristan.
“Jantung, bukan usus,” protes Vivian.
“Kamu itu lebih cocok usus. Panjang, muter-muter.”
Vivian mencebik. “Kamu pikir aku alat pencernaan.”
Theo dan Helena menggeleng, tetapi tersenyum. Kesunyian akibat ditinggal sang putri menikah, setidaknya tergantikan oleh kehadiran Vivian.
***
Tiba di tempat parkir toko kain, mereka tidak langsung turun. Vivian sibuk mengacak tasnya. Tristan mengangkat satu alis melihat wanita itu menampilkan wajah panik.
“Ya, ampun! Ponsel dan dompet ketinggalan di meja rias.” Ia menengok ke arah Tristan. “Balik bentar ke rumah, yuk. Mau gak, Trist? Aku mau transfer supplier kancing. Sudah janji pagi ini bayar.”
Tristan mengambil ponselnya di laci mobil dan memberikan kepada Vivian. “Pake m-Banking aku aja. Jadi, tidak perlu bolak-balik. Tau nomor rekeningnya?”
Vivian mengangguk. Ia mengambil kartu nama diselipan dalam tas berisikan catatan nomor rekening dibalik kartu. Saat sedang mengetik jumlah nominal, satu pesan masuk. Bermaksud untuk menggeser agar tak mengganggu. Justru malah kena klik dan terbuka.
Melihat isi pesan tersebut membuat Vivian tercengang. Ia langsung meradang, aliran darah terasa panas. Kepalanya langsung menoleh ke arah Tristan dengan tatapan tajam. Lalu, memukul lengan pria itu sehingga membuatnya terkejut.
“Kamu gila, ya!”
Tristan mengernyit. “Apa?”
Vivian menunjukkan isi pesan tersebut. “Minta duit kayak minta permen. Nominal seratus juta loh itu.”
Tristan mengambil ponselnya. Ia melihat isi pesan tersebut, ternyata dari Kanaya. Pria itu hanya ber ’oh’ ria. Membuat Vivian semakin kesal.
“Udah berapa kali si sundel minta duit sebanyak itu?”