Senin, 22 Juli
Hai, Saira. Gue mau kasih tau lo sesuatu. Tahun ajaran baru gak bakal lengkap tanpa sesuatu yang baru. Jadi, selamat, lo dapat satu (1) secret admirer baru! Gue bakal muncul dan ungkap identitas gue ke lo suatu saat, jadi buat sekarang lo gak usah mikirin dulu gue siapa. Mending lo fokus dulu sama isi surat-surat gue ke depannya, oke?
Selasa, 23 Juli
Cie, sekelas sama Meira. Pasti seneng yaa? TMI nih, gue juga sekelas sama temen deket gue. Surat kali ini singkat kok. Gue cuma mau bilang semangat buat hari ini!
Rabu, 24 Juli
Hari ini hari Rabu, 24 Juli, jam 6 pagi. Gue mau mandi, tapi tiba-tiba kepikiran sesuatu. Saira, kok bisa sih gula segede manusia kayak lo gak disemutin sama sekali?
***
“Surat lagi, Ra?” Tanya Meira, teman sebangkuku. Dia berhenti memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
Jelas sekali kalau Meira lebih tertarik pada secarik kertas yang kuterima (lagi) daripada membereskan buku catatan dan kertas hitungan yang berserakan di mejanya. Surat ini adalah surat ketiga yang kuterima minggu ini, padahal ini baru hari Rabu. Sejauh ini, kontennya memang tidak ‘liar’ dan kesannya basa-basi tidak jelas saja, tapi tetap agak menyeramkan sih … setidaknya, menurutku. Lagipula, orang kurang kerjaan macam apa yang menjadikan menyelipkan kertas di antara buku paketku sebagai rutinitas?
“Iya, nih. Coba lo baca sendiri.” Aku menghela napas. Meira mendekat, mengintip sederet tulisan yang ada di kertas loose leaf yang kuterima hari ini. Isi suratnya cukup singkat, tapi sangat menggelikan—bahkan cukup untuk menghilangkan selera makanku. Entahlah, mungkin setiap orang berbeda, tapi aku tidak begitu suka diberi gombalan aneh seperti yang ada di surat itu.
Ayolah, bahkan adikku yang masih TK saja rasanya jauh lebih kreatif dibanding ini.
“Apaan sih, gak jelas banget ini orang.” Tawa Meira pecah begitu membaca isi suratku—bahkan sampai memukuli bahuku juga. Mau tidak mau, aku ikut tertawa (meskipun sambil menghindari pukulannya).
“Tau, tuh. Males banget.”
“Penasaran gue, yang nulis tuh sebenernya niat buat gombalin lo apa gimana ya?” Tanya Meira, masih terkekeh-kekeh pelan.
Aku mengedikkan bahu. Kertas surat tersebut kulipat asal dan kumasukkan ke dalam tas. Meira rupanya sudah menyerah dalam membereskan buku catatannya, toh nanti akan dikeluarkan lagi. Jadi, kami ke luar kelas dan langsung ke kantin.
Kantin sekolah cukup ramai mengingat memang sudah masuk jam istirahat kedua. Karena waktunya cukup panjang, kebanyakan murid memanfaatkan jam istirahat ini untuk makan di kantin (tentunya sambil menumpahkan ‘teh’ panas, kalau kalian tahu maksudku). Aku, Meira, Kinara, dan Aidan—teman-teman terdekatku sejak kelas 10—juga tidak menjadi pengecualian. Berkumpul di kantin merupakan rutinitas sehari-hari yang tidak pernah terlewat, kecuali kalau ada urusan yang lebih penting seperti ujian susulan.
Dari jauh, aku dapat melihat Aidan melambaikan tangan ke arahku dan Meira. Meira melambai balik, lalu menunjuk ke deretan kios makanan yang ada di kantin, mengisyaratkan kalau kami akan memesan dulu. Dalam hati, aku sedikit mempertanyakan keputusan Kinara dan Aidan untuk memilih meja di ujung kantin, jauh dari pintu masuk dan tempat membeli makanan. Namun, di tempat yang penuh sesak oleh siswa dari tiga angkatan ini, rasanya dapat meja kosong dengan tempat duduk yang cukup saja sudah bersyukur.