Pintu tua itu berderit saat dibuka. Terlihat debu menari pelan di udara, berputar dalam sinar lampu tunggal yang menggantung miring di langit-langit. Ruangan itu jauh dari kesan mewah seperti rumah besar yang baru saja dilihat Blossom, yang ini terlihat lebih sederhana, nyaris terlupakan, tapi anehnya justru terasa hangat dan nyaman. Setidaknya tidak terlalu buruk untuk kesan pertama.
âIni akan menjadi kamar Anda, nona Blossom,â ujar Albert seraya menyingkir, memberi jalan Blossom untuk masuk ke dalam rumah berukuran kecil itu. Suara Albert terdengar tenang, meski Blossom bisa mendengar sedikit keraguan di balik nadanya. âDulu kamar ini milik salah satu tukang kebun-â Albert memotong perkataannya sendiri, barangkali ia merasa tak enak hati karena tak sengaja memberikan informasi berlebihan tentang rumah yang nantinya akan ditempati Blossom. Ia dengan cepat merapatkan kedua tangannya kembali pada sikap formalnya, tampak jelas ragu untuk meneruskan perkataannya.
âIts okay Albert,â Blossom berujar pelan, menatap Albert dengan mata hijaunya yang berkilat samar di bawah cahaya redup.
Albert menampilkan senyum sopan yang tampak seperti hasil latihan bertahun-tahun. âAku yakin anda akan betah nona Blossom.â
Blossom hanya membalas samar perkataan Albert.
Dengan ragu Blossom menaruh tasnya di tepi ranjang, well jika benda itu masih bisa disebut ranjang. Kasurnya tipis, sepreinya berbau debu dan rangka kayunya berderit tiap kali Blossom mencoba bergerak. Sesaat, Blossom bertanya-tanya apakah ayahnya benar-benar ingin mengajaknya tinggal bersama atau hanya ingin menyembunyikannya dari pandangan orang lain.
Albert membetulkan sarung tangannya lalu melangkah ke pintu. âMakan malam akan dimulai sebentar lagi. Saya akan menjemput Anda saat waktunya tiba.â
âTerima kasih, Albert,âÂ
Albert mengangguk singkat lalu menutup pintu perlahan. Meninggalkan Blossom sendirian.
Gadis berambut ikal itu kemudian duduk di dekat jendela, menatap ke luar melalui celah di antara tanaman hijau yang merambat di dinding luar kamarnya. Dari sana, ia bisa melihat sedikit bagian dalam rumah ayahnya yang mewah. Rumah bercat putih itu nampak hidup. Berbeda dengan rumah kecil yang ia tempati sekarang. Hangat tapi seperti mati.
Rumah kecil berlantai kayu ini hanya terdiri dari satu ruangan saja. Ruangan besar dengan segala fungsi dijejalkan di dalamnya. Ruang tamu, kamar tidur, dapur, ruang makan, dan kamar mandi yang jaraknya saling berdekatan membuat ruangan yang tidak seberapa luasnya itu semakin sempit.
Meski ruangan ini nampak bersih, tetap ada kesan terbengkalai yang tak bisa disembunyikan. Debu-debu tipis yang masih menempel di sudut-sudut lantai, udara yang terasa dingin dan pengap, serta suasana sunyi yang seperti menunggu seseorang untuk datang dan menghidupkan ruangan itu kembali.
Tempat tidur reyot yang sempat ia duduki tadi berada di pojok kiri ruangan, nampak rapi namun jelas jarang tersentuh. Sprei putihnya mulai memudar seolah sudah lama tak dicuci. Pandangan matanya lalu beralih pada sofa tua yang meskipun bentuknya sudah tak karu-karuan tapi masih terlihat kokoh berdiri.Â
Tak jauh, Blossom memperhatikan dapur kecilnya yang sederhana. Kompor dengan satu tungku, wastafel berbahan baja yang sudah karatan dengan tetesan air yang perlahan menetes dari krannya yang bocor, dan rak kayu yang menggantung di dinding menambah kesan kumuh. Tepat di depan dapur kecil itu, berdiri sebuah meja makan kayu dengan dua kursi yang nampak kaku, seperti furniture lama yang sudah lama tak tersentuh.
Di sudut paling jauh ruangan itu, sebuah kamar mandi kecil tersembunyi di balik pintu kayu yang catnya mulai mengelupas. Blossom tak berminat melihat ke dalamnya. Ia tahu kamar mandi dengan ukuran sekecil itu sudah pasti tak layak pakai.
âSebenarmya aku ini anak kandung atau bukan?â tanyanya lirih pada diri sendiri. âSekarang aku tahu rasanya jadi Cinderella.â
Blossom menunduk, merasakan sesak di dadanya. Betapa ironis, menjadi bagian dari keluarga sendiri tapi diperlakukan seolah-oleh hanya sebagai orang asing yang menumpang tinggal.
Sebuah tawa pendek lolos dari bibirnya, tanpa senyum hanya suaranya saja yang terdengar. Lucu juga ternyata, bagaimana seseorang bisa merasa begitu tidak diinginkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia paling dilindungi. Apalagi mengingat keadaan Blossom yang sudah menjadi setengah zombie seperti ini.
Blossom kemudian menarik napas panjang. Mencoba menenangkan hatinya. Mungkin ia tak pernah benar-benar diasingkan, hanya saja selama ini ia sudah terlalu sering diabaikan oleh keluarganya sampai ia lupa bagaimana rasanya dianggap penting.
Mata hijau Blossom menatap pantulan wajahnya di kaca, berharap penampilannya tidak seburuk yang ia pikirkan. âHuh?!â Blossom tersentak kaget.
Bukannya terhibur justru Blossom terkejut setelah melihat pantulan dirinya. Ini bukan dirinya yang dulu. Seingatnya ia belum se discoloration ini? Blossom tahu warna kulitnya akan berubah. Tapi ia tidak menyangka ia akan terlihat sewarna-warni ini. Kulitnya memucat hampir biru keunguan. Urat syarafnya yang membesar dan menonjol berwarna hitam juga menambah keberagaman warna yang ada pada tubuhnya. Tidak berhenti di situ, kedua pupil matanya juga berubah warna menjadi lebih terang.
âAstaga. Aku terlihatâŚseperti zombie. Zombie berwajah jelek lebih tepatnya.â
Ia kemudian memaksakan bibirnya untuk tersenyum, sekedar untuk memastikan dirinya masih bisa melakukan hal itu. Tapi senyum itu tak terlihat manusiawi. Sudut bibirnya bergerak kaku, seolah otot-otot di bawah kulitnya sedang belajar kembali menjadi manusia. Giginya yang dulu putih bersih juga nampak menguning, belum lagi kedua gigi taringnya juga memanjang beberapa mili centimeter, tidak begitu kentara asalkan Blossom selalu mingkem.
âHah... paling tidak aku masih bisa makan makanan manusia normal.â
Blossom mungkin sesekali ingin makan otak manusia, tapi sering kali ia masih bisa menahan hawa nafsunya itu. Ia memiringkan wajahnya sedikit, mencari sudut lain, namun cahaya lampu justru memperjelas semua yang ingin ia sembunyikan. Bayangan di bawah matanya tampak lebih dalam dan gelap dari biasanya. Bibirnya hampir kehilangan warna dan di pipinya tak ada lagi rona merah yang dulu pernah ia miliki.
âBagaimana caranya aku menemui orang-orang nanti? Apa mereka mau satu meja makan denganku? Aku sendiri saja mual melihat kondisiku yang seperti ini. Astaga kenapa aku harus tinggal dengan mereka di sini-well secara teknis aku tidak benar-benar âtinggal serumahâ dengan mereka. Tapi jika kondisinya seperti ini maka kami akan sering berinteraksi.â
Blossom memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya menggenggam tralis jendela dengan erat. Blossom mencoba menenangkan detak jantungnya, satu-satunya yang membedakannya dengan zombie murni. Setidaknya jantungnya masih berdetak.
Tok tok tokÂ
Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.
âNona Blossom,â suara Albert terdengar tenang seperti biasanya. âMakan malam akan segera dimulai.â