Blowing the Wind

Roseeya
Chapter #3

BAB 3

Dua hari terlewatkan, aku yang merasa bosan karena jatah cuti kami masih ada sekitar 5 hari lagi merengek untuk mengadakan honeymoon dadakan. El yang hafal dengan keadaan ku tentu saja menolak mentah-mentah hingga akhirnya terjadi perdebatan kolot diantara kami. Jika sudah bertatap mata dan berhadap-hadapan biasanya laki-laki itu akan luluh terhadap ku. Dan benar saja, setelah hampir 1 jam kami saling bertahan dengan keegoisan masing-masing, akhirnya El menghela nafas dan menyetujui ide gila ku. Ide gila? Oh tentu saja. Mual-mual yang ku alami 2 hari lalu masih bertahan hingga saat ini. El yang sampai kemarin gemas melihat ku selalu kepayahan setelah mengalami mual-mual di pagi dan sore hari memutuskan untuk membawa ku ke bidan. Inilah alasan kuat yang membuat El menantang keras ide Honeymoon dadakan ku.

“Kita berangkat besok pagi yaah, aku pesen penginapan sama tiket keretanya.”

“Engga, biar aku aja. Kamu tidur aja gih sana.” Mendengar kalimat yang diucapkan dengan nada ketus itu aku tersenyum. Tentu saja El tidak akan bisa memarahi ku jika kondisi ku seperti ini. Walaupun laki-laki itu terkesan cuek dan menjengkelkan tapi El sangat perduli pada kondisi kesehatan ku dan calon bayi kami.

“Hem gimana kalau aku nemenin kamu sambil nonton drama Korea?”

Dia sempat melirik tajam kearah ku, namun lagi-lagi El harus mengalah akan kemauan egois ku ini. Melihatnya yang begitu menderita akan sikap kekanakan ku, membuat ku iba dan pada akhirnya aku memeluk salah satu lengan laki-laki itu dan berkata “Aku belum bisa tidur sekarang, tapi nanti jika aku udah ngantuk aku akan segera tidur.”

“Kamu tuh ya, bandel tau ga.”

“Hehehe..” Jurus jitu ku untuk meredakan moodnya yang medadak turun adalah dengan memeluk tubuh tinggi itu, dan tentu saja usaha ku tidak sia-sia.

“Kamu ga mau tidur karena mau mastiin aku bener pesen tiket kereta sama hotel kan de?”

“Ih apa sih, engga mas, aku percaya ko. Lagi pula kamu mana tega sih biarin aku ngerengek-rengek minta Honeymoon, kamu mau emang nanti dedeknya ileran?”

“Itu bukan dedeknya de, tapi emang maunya kamu aja.”

“Yah mungkin ya, mungkin juga engga.”

Ada jeda beberapa saat yang di isi sebuah keheningan sebelum El berhasil membawa kepala ku kedalam dekapan ketiaknya. “Kamu udah mulai yaa ngeselin.”

“Aw, aw iya iya ampuun...”

****

Ketika hari kembali berganti, dan seperti 3 hari sebelumnya, mual selalu menyambut ku di pagi hari. Tapi sepertinya semenjak aku konsultasi dengan bidan dan diberikan beberapa vitamin kadar mual ku agak berkurang. Entahlah mual kali ini rasanya tidak lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

“Sarapan kamu.”

Sejak menikah, sedari awal kami tinggal bersama, El selalu bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Dia berkata jika dia tidak bisa mengandalkan ku untuk memasak sarapa karena kondisi ku yang terus mengalami mual dipagi hari. Aku tidak bisa protes akan hal tersebut, karena jujur saja mual-mual ku ini memang agak sedikit menyiksa.

“Terima kasih.” Balas ku setelah meminum sedikit segelas air hangat yang sebelumnya sudah di siapkan oleh El.

Sarapan berlangsung dengan keheningan beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk bertanya perihal keberangkatan Honeymoon mendadak kami. El menjawab dengan datar jika kita akan mulai berangkat dari rumah sekitar pukul 11 siang. Karena kereta yang dipesan berangkat pukul setengah 1 siang. Aku mengerutkan kening. Agak keberatan dengan rencana yang dikatakan oleh suami ku ini. Bagaimana bisa kereta berangkat jam setengah 1 siang tapi kita berangkat dari rumah jam 11 siang? Kita hanya punya waktu selama 1 setengah jam. Bagaimana nanti jika kita terjebak macet? Bukankah itu di tengah-tengah waktu jam makan siang?

“Apa ga sebaiknya kita berangkat sedikit lebih awal mas? Jam 10an gitu?”

El memandang ku dengan tidak setuju. Oh apakah perdebatan alot kami akan kembali terjadi?

“Jam 10 kepagian de, kita ngapain di stasiun lama-lama?”

“Tapi mas nanti kalau kita kejebak macet gimana? Bukannya itu waktu jam makan siang?”

Ada keheningan yang terjadi sebagai jeda percakapan antara aku dan El. “Okay, jam setengah 11 kita otw.” Mendengar keputusan yang di buat olehnya membuat ku tersenyum. El laki-laki itu sedikit demi sedikit sudah merubah sikapnya. Dulu saat berdebat seperti ini biasanya dia akan menyerahkan keputusan akhir kepada ku, itu jika dia tidak memiliki alasan kuat untuk kembali mendebat ku. Tapi kini, El mengambil keputusan akhir sendiri tanpa melibatkan ku. Rasanya dia sudah semakin dewasa. Memikirkan hal tersebut membuat kekehan kecil tanpa sadar ku keluarkan. Aku seperti membicarakan seorang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Lihat selengkapnya