Pagi hari yang cerah, pas sekali diawali dengan sebuah senyum dan perasaan bahagia. Sudah berapa lama yaa kira-kira aku tidak merasakan perasaan ini?
“Gimana ngidam kamu?”
“Yah sekarang udah lebih baik mas.” Aku dapat merasakan sepasang lengan besar yang melingkari pinggang ku dan hembusan nafas hangat di sela-sela tengkuk ku.
“Kamu mandi pagi.” Itu adalah sebuah pernyataan bukan pertanyaan.
“Iya dong, dan kamu belum mandi.”
Kini aku mendengar suara kekehan dari arahnya sebelum laki-laki itu bertanya apa yang sedang ku masak. “Aku masak nasi goreng. Cuma itu yang bisa ku masak pagi ini.” El melepaskan tubuh ku dan mulai sibuk pada ponselnya. Aku melirik sekilas kearah laki-laki itu sebelum kembali fokus pada masakan ku.
“Makanannya sudah siap, kamu mau makan dulu atau mandi dulu?” Tanya ku setelah beberapa menit kemudian. Aku menyusun dua buah piring yang sudah terisi nasi goreng lalu menyusul 2 gelas susu.
“Makan dulu deh.” El meletakan ponselnya sebelum laki-laki itu melangkah kearah ku.
Karena kami menginap di sebuah penginapan yang lumayan untuk di isi hanya dengan dua orang, tanpa meja makan kami masih dapat makan di sebuah sofa dan meja yang berada tepat di depan televisi tidak jauh dari letak ranjang kami. Entah kenapa pagi ini kegiatan kami di isi dengan keheningan. Sarapan pagi yang biasanya selalu di isi dengan pembicaraan ringan kini tak ada. “Gimana nasi gorengnya mas?”
“Hem? Ah enak ko, udah ga asin lagi.” Balasnya dengan setengah tertawa. Aku menatap sebentar wajah laki-laki itu sebelum mengulas sebuah senyum.
Setelah percakapan yang amat singkat beberapa menit sebelumnya, tidak ada lagi percakapan di antara kami pagi ini sampai kegiatan sarapan kami selesai. Sebelum melangkah pergi El mengatakan jika dia akan mandi. Aku hanya membalasnya dengan sebuah gumaman sambil membereskan peralatan bekas makan.
Satu menit setelah kepergian El untuk mandi, secara mengejutkan suara deringan sebuah ponsel berbunyi. Aku sangat mengenali suara deringan tersebut adalah suara deringan ponsel milik El. Sejenak aku menghentikan kegiatan mencuci piring ku untuk mengecek siapa yang menelponnya. Jika di ingat-ingat kembali laki-laki itu tadi sempat sibuk memainkan ponsel. Apakah panggilan ini dari kantornya?
Saat langkah ku sampai pada meja nakas kecil disamping ranjang aku mulai mengambil ponsel El dan melihat siapa yang menghubunginya pagi ini.
Kening ku seketika mengerut dan rasa cemburu hingga curiga mulai menggerogoti tubuh ku. ‘Karina.’ Adalah nama kontak yang sukses membuat ku terpaku sejenak. Bahkan sampai panggilan itu berakhir dan tak berhasil ku jawab aku masih tetap mematung, hingga deringan itu muncul kembali dan aku mulai tersadar ‘Karina.’ Wanita itu menelpon lagi. Aku menarik nafas sebelum memutuskan untuk menekan tombol jawab. “Halo El?” aku dapat mendegar suara seorang wanita menyapa dari seberang sana.
“Maaf El, tapi aku benar-benar membutuhkan mu, saat ini hanya kamu yang dapat ku andalkan, hanya kamu orang yang bisa ku percaya. Aku ingin menceritakan masalah ku secara langsung.”