Namaku Rie, Rie Amane. Seorang karyawan di perusahaan swasta. Semua yang ada padaku adalah biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak jelek. Tidak pandai dan tidak juga bodoh. Sangat standar. Jika ada kelebihan, mungkin aku cukup baik dalam memasak. Orang tuaku adalah pemilik restoran Jepang.
Meski biasa saja, tapi aku memiliki kisah yang indah, tapi juga menyakitkan. Kisah cinta pertamaku.
Entahlah, saat ini aku ingin sedikit mengenangnya. Mengenang kisah cinta pertamaku dengannya. Dengan dia, mahasiswa tampan se-kampus denganku dulu.
***
Aku tidak pernah membayangkan jika aku akan menjalin hubungan dengannya. Dengan sosok laki-laki menyebalkan yang kerjaannya menggangguku. Aku sampai heran kenapa bisa-bisanya dia memiliki tenaga lebih dan waktu lebih hanya sekedar untuk bilang ‘hai’ kepadaku, lebih tepatnya menyapa. Memang benar dia sering menyapaku. Harusnya aku senang disapa laki-laki pintar, keren, dan popular di kampus. Oke, terima kasih sudah menyapaku dengan senyuman manisnya itu, tapi ini yang benar-benar membuatku kesal. Kenapa juga ia hanya dengan santai menyapa ‘hai’ saja lalu berlalu meninggalkanku tanpa kata-kata lain? Tidak di gerbang kampus, halaman kampus, perpustakaan, di depan kelas, kadang juga lewat jendela kelas. Maksudnya apa coba? Apa dia itu tidak memiliki kosa kata yang lain selain kata ‘hai’? Entahlah, aku belum pernah mendengar kata lain selain kata itu sampai setahun lamanya.
Di akhir tahun pertama kuliah, hubunganku dan dia masih sama. Dia masih saja menyapaku dengan sapaan ‘hai’ andalannya. Apa sudah setahun ini dia tidak mengenalku? Ah tidak mungkin rasanya, namaku jelas tertuis di nametage yang ada di seragamku. Ayolah, dia itu hanya mengetes apakah telingaku ini masih berfungsi dengan baik atau tidak, kan? Kurasa seperti itu awalnya.
Dia aneh- itu yang ada di dalam benakku. Senyumannya yang tengil, suaranya, hah kurasa sifatnyapun juga tak jauh sama. Aku tidak pernah tahu apapun tentang dia. Nomor telepon? Email? Facebook? Sosmed yang lain? Aku sama sekali tidak memilikinya. Aku bahkan tidak pernah berkenalan langsung dengannya. Dia hanyalah mahasiswa seangkatanku yang bertemu di depan toilet kampus, dan saat itu tanpa ada niat apapun dia dengan senyuman tengil khasnya menyapaku dengan sapaan ‘hai’.
Apa-apaan dia itu? Ingin berkenalan? Tidak!
Ingin menjadi temanku? Ah, teman yang hanya ingin mengatakan ‘hai’ setiap harinya lalu saat aku ingin bertanya balik dia justru langsung pergi meninggalkanku?
Entah takdir atau kebetulan, aku dan dia berada di kelas yang sama di tahun kedua. Dia yang awalnya di kelas B, kali ini masuk ke kelas A kelasku. Di duduk di bangku nomor dua dari depan. Tempat dudukku berada di belakangnya.
Aku mulai memandanginya semenjak kami berada di kelas yang sama. Jujur saja, aku penasaran dengannya. Aku terus dan terus memandanginya.
Ada yang aneh dan membuatku tak suka.
Dia sama sekali tidak menyapaku!
Jangankan itu, dia bahkan tidak pernah menyapaku dengan kata ‘hai’ andalannya.
Kita ini sekelas, kan? Di bangku yang sangat dekat pula. Apa yang terjadi?
Apakah dia terkena lemparan batu di kepalanya dan langsung amnesia lalu melupakanku? Hoh, jika itu benar terjadi pertanyaannya kenapa hanya aku saja yang ia lupakan? Teman sebangku yang di tahun pertama kuliah yang pernah menjadi teman sekelasnya saja masih dengan sangat jelas ia mengingatnya. Cih, aku dilupakan sepertinya.
Aku dilupakan?
Jangan bercanda! Dari awal memang kami tidak saling kenal. Dia saja yang sok kenal sok dekat karena sering menyapa ‘hai’ kepadaku.
Intinya aku tidak peduli!
Yakin aku tidak peduli?
Aku heran dengan diriku sendiri. Ini aneh, seperti bukan diriku saja. Semakin aku mencoba mengacuhkan laki-laki itu, justru semakin membuatku penasaran dengannya. Dia sangat misterius untukku. Sangat dan membuatku tidak mengerti. Dia seperti hantu yang datang seenaknya saja dan pergi seenak jidatnya.
Aku mulai terserang virus galau.
Galau?
Apaan sih?
Aku ini belum pernah berpacaran sebelumnya, jadi mana mungkin aku terserang itu virus, kan? Aku tipe gadis yang lebih mementingkan akademik ketimbang pacaran (Baca: Aku ini rata-rata, perlu berjuang untuk mendapatkan nilai bagus). Bukan berarti aku tidak pernah jatuh cinta.
Jatuh cinta ya?
C.i.n.t.a