Matahari senja ini terlihat sangat indah. Mega merah lembayung senja mulai menampak di ufuk barat. Langit sore terlihat cukup cerah. Beberapa burung camar terbang bergerombolan di atas air laut yang terlihat berwarna jingga karena memantulkan sinar matahari sore. Aku menyunggingkan senyum di bibirku yang mungil ini.
“Tuhan, terima kasih atas anugrah yang begitu sempurna ini.”
Angin berhembus cepat membelai setiap helai rambut panjangku yang lurus. Gaun selututku menari-nari seiring dengan hembusan angin yang mengiringi. Aku berjalan pelan menyusuri bibir pantai yang terlihat begitu mengagumkan ini.
Rasa dingin air laut menusuk pelan ke dalam pori-pori kulit kakiku. Lumayan dingin hingga membuatku terjinjit saat pertama kali tersapu deru ombaknya. Aku memeluk tubuhku sendiri.
“Ah, rasanya sangat dingin.”
Dingin?
Eh, kenapa saat aku teringat kata itu hatiku terasa sangat sepi?
Sepi seolah sedang terjebak seorangan dalam kegelapan yang berteman dengan kedinginan yang abadi. Sepertinya aku terlalu berlebihan. Namun seperti itu yang kini tengah kurasakan.
Ya seperti itu, aku menyadarinya saat ini.
Aku memang tengah sendiri.
Sendiri menikmati indahnya senja di tepi pantai ini.
Dimanakah teman-temanku? Kekasihku? Bukankah pantai seharusnya merupakan salah satu tempat romantic untuk memadu kasih? Berkencan? Bergandengan tangan dengan erat seolah tak akan terpisahkan, sekalipun ombak datang menantang? Saling berpautan menyalurkan segala emosi dalam jiwa?
Loh?
Kenapa air mataku tiba-tiba menetes tanpa perintahku?
Kenapa ada rasa perih bergejolak di dalam hati ini?
Kenapa semakin aku bertanya, aku merasa semakin terluka?
Aku mengusap air mataku yang membelah kedua pipiku dengan jemariku yang lentik. Mengusapnya pelan dan lembut. Terus dan terus kulakukan hingga aku menyadari jika usahaku ternyata hanya sia-sia.
Air mataku enggan berhenti.
Aku masih saja menangis.
Otakku membawaku ke masa lalu yang pernah kulalui. Salah satu kenangan manis yang pernah tercipta antara diriku dengan dia.
Aku tidak begitu mengingat bagaimana awal aku mulai mengenal sosok laki-laki tampan, emm, menurutku, laki-laki yang kini menjadi orang yang paling kusayangi, paling kucintai. Dia datang begitu saja ke dalam hidupku dengan membawa sejuta cerita manis di awal pertemuan kami. Senyumnya, tawanya, cara bercandanya, entah mengapa aku sangat menyukainya. Dia selalu membawa kebahagiaan kala aku dalam masa tersulitku. Aku ingat, dia membuat lelucon aneh saat membesukku dulu di rumah sakit. Bahkan sampai saat ini, dia masih sering melakukannya.
Dia unik dan berbeda.
Dia akan memarahiku jika apa yang kulakukan merugikan diriku atau mungkin membahayakan. Dia memang sering berkata kasar jika menyangkut dengan keamanan diriku. Apalagi soal kesehatanku, dia akan berubah menjadi cerewet melebihi ibuku sendiri. Kesehatanku? Ya, aku mengidap gagal jantung. Sudah sering melakukan operasi, tapi tak kunjung membaik juga. Dia memang tidak pandai memilih kosa kata untuk melarang, tapi tak masalah karena itu membuatku bahagia.
Bukankah dia orang yang sangat perhatian?
Dia. Leo Ardhian. Nama berarti singa, tapi hatinya hello kitty. Haha, kuharap dia tidak mendengarnya.
Aku tersenyum saat mengingatnya. Rasanya belum lama aku mengenalnya, seolah lupa waktu jika kini sudah tiga tahun bersamanya. Waktu yang cukup untuk mengukir banyak kisah.