"Vanka Novelia! Lihat ke mana kamu?"
Suara nyaring terdengar disertai sebuah bantingan. Rupanya, sebuah penggaris kayu yang dijatuhkan ke lantai keramik oleh seorang guru.
Vanka hanya menatap sesaat, sebelum kembali mengalihkan pandang ke arah jendela. Menopang dagu, sembari menatap sekumpulan anak yang bermain sepak bola di lapangan sekolah.
Sayang, tindakannya membuat guru yang berada di depan semakin murka. Guru itu berjalan ke arah meja Vanka, kemudian menggebrak dengan sekuat tenaga. Membuat gadis berambut hitam itu berjengit kaget.
Vanka melepas earphone yang menyumbat kedua telinga. Menatap lurus ke arah wanita paruh baya di depannya yang sudah berwajah merah padam karena emosi. Bahkan, kacamata ber-frame tebal wanita itu sudah melorot, nyaris mendekati hidung. Namun, guru itu nampak terlalu marah, bahkan untuk sekadar membetulkan letak kacamatanya.
"Ada apa, Bu?"
Vanka bertanya dengan raut datar tanpa memperhatikan wajah orang yang ditanyai. Jemarinya menari, menggambar sketsa di atas buku tulis bergaris. Perbuatan Vanka membuat kesabaran sang guru hilang sepenuhnya. Diambilnya buku di atas meja Vanka, kemudian dirobek menjadi beberapa bagian.
"Buku ini tak berguna untukmu, kan? Lagi pula, kamu tidak pernah mendengarkan pelajaran saya, Vanka. Lebih baik, buang saja bukumu itu."
Sang guru menyeringai kecil, kemudian kembali berjalan ke depan kelas. Melanjutkan pelajaran, seolah tak pernah terjadi apa pun. Keadaan kelas kembali hening. Para siswa tak berani berbicara sepatah kata pun, karena takut melihat kemarahan sang guru—lagi.
Terdengar suara geretan kursi, sontak membuat semua kepala menoleh. Rupanya, kembali bersumber dari bangku Vanka Novelia. Gadis itu berdiri sembari menenteng buku dan berjalan ke luar kelas. Tak mengucap sepatah kata pun pada sang guru yang terpaku—terkejut dengan perilaku Vanka.
"Vanka, kembali ke kelas!"
Sang guru segera berteriak saat menyadari hal yang dilakukan Vanka. Sayang, gadis itu tak peduli.
Vanka kembali menyumbat telinga dengan earphone, berjalan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga lantai teratas, kemudian membuka pintu menuju atap.
Vanka merasakan angin yang sejuk membelai wajah. Menerbangkan rambut sebahunya, menarik helaian itu mengikuti arah angin.
Vanka membuka mata, kemudian melihat ke atas. Di mana awan-awan lembut berbentuk seperti kapas menghiasi langit biru cerah.
Sebenarnya hari ini cukup indah, apabila tidak diwarnai peristiwa di kelas tadi. Sayang, mood Vanka sudah terlanjur rusak.
Vanka memandang ke depan, di mana gedung-gedung besar berjejer. Tinggi dan tidak teratur, namun menampilkan pemandangan yang indah. Gunung yang menjulang tinggi di belakangnya semakin menambah keindahan pemandangan.
Vanka membuka buku, mulai menggambar pemandangan yang kini dilihat. Pemandangan yang selalu bisa membuat dirinya tersenyum, sehancur apa pun mood dan perasaannya.