Blue

Maria Rosa
Chapter #2

2

"Lo ngikutin gue? Kok lo bisa tau kalo gue itu Vanka? Lo tau nama gue dari mana? Gue nggak kenal lo sama sekali."

Vanka menyibak rambut, sudah tak ada gunanya menyembunyikan wajah. Vanka memberondong sang lelaki dengan pertanyaan yang hinggap di kepala. Matanya bersinar tajam, waspada terhadap lelaki di depannya. Bahkan, Vanka sudah memasang kuda-kuda, siap menghajar lelaki itu jika berbuat hal aneh.

Walau tidak terlihat dari luar, sebenarnya gadis dengan tinggi 155 cm ini adalah seorang pelatih karate. Yah, meski muridnya sebatas anak-anak SD. Vanka juga memiliki bermacam penghargaan dari lomba setingkat nasional. Sayang, saat memasuki SMA, Vanka tak lagi aktif mengikuti kejuaraan. Sparring pun sudah jarang dilakukannya.

Namun, untuk melumpuhkan seseorang, Vanka lebih dari mampu.

"Santai, dong. Gue nggak ada niat ngapa-ngapain lo. Yang ada, gue babak belur duluan."

Sang lelaki melangkah mundur, berusaha membuat jarak dengan Vanka yang masih waspada. Hanya tiga langkah, sebelum lelaki itu berhenti bergerak. Menghela napas pelan, kemudian tersenyum tipis.

"Gue cuma mau jawab pertanyaan lo. Pertama, kenalin. Gue Arya Kalvana Wicaksana. Kalo kepanjangan, panggil aja Arya. Tapi, terserah lo mau panggil apa. Gue pasti nyaut kalo dipanggil soalnya. Oiya, kalo lo mau minta nomer atau akun instagram gue juga nggak pa-pa. Pasti gue kasih, kan gue baik hati. Kedua, nggak. Gue nggak ngikutin lo sama sekali. Pede banget jadi orang. Oke, gue nggak mempermasalahkan kepedean lo yang kelewat batas itu. Pede itu keren soalnya, kayak gue."

"Ketiga, siapa yang nggak tau Vanka Novelia di sekolah ini? Hello, dia baru keluar dari goa atau gimana? Lo itu terlalu gampang dikenali. Dari atas, bawah, samping, depan, belakang, semuanya pasti langsung tau kalo itu lo. Yang terakhir, parah banget sih kalo lo nggak kenal gue. Jangan-jangan, lo yang habis keluar dari goa. Secara, semua orang di sekolah ini kenal gue. Satpam, tukang kebon, guru, ibu kantin, semua deh pokoknya. Mungkin lo satu-satunya yang nggak kenal gue. Tapi nggak pa-pa, gue maklumin, serius. Nggak perlu minta maaf."

Selama penjelasan yang panjang lebar itu, Vanka hanya memasang raut tak peduli. Dia hanya mendengarkan satu kalimat awal, sebelum kembali memasang earphone di telinga. Sepertinya, lelaki itu tidak memperhatikannya karena terlalu sibuk berbicara sendiri. Jika lelaki itu melihat, pastilah earphone di telinga Vanka sudah dilepasnya. Mungkin, lelaki itu akan menyerocos lebih panjang dengan wajah tak suka.

Menurut Vanka, mendengarkan orang seperti ini benar-benar tidak bermanfaat. Justru membuang waktu dan tenaga.

Lebih baik Vanka mendengarkan musik-musik rock dengan volume maksimal yang bisa memecahkan gendang telinganya daripada harus mendengar ocehan lelaki di depannya. Benar, hal itulah yang sedang dilakukan Vanka. Membuatnya tak bisa menangkap satu kata pun yang diucapkan sang lelaki.

Vanka hanya mengangguk-angguk untuk mengikuti irama musik yang cepat. Sayang, lelaki itu salah mengartikan anggukannya.

"Nah, paham juga lo. Tumben banget gue ketemu orang yang langsung paham sama gue. Jangan-jangan, kita satu frekuensi kali, ya? Cocok, nih. Lo mau jadi temen gue, kan? Harus mau, gue nggak terima penolakan."

Lagi, Vanka mengangguk cepat, tanpa tahu bahwa dia justru menggali kuburan sendiri. Arya tersenyum semringah melihat anggukan Vanka.

Lihat selengkapnya