Arya mengerjapkan mata saat melihat cahaya yang begitu terang memasuki penglihatannya. Setelah berhasil menyesuaikan, lelaki itu menatap sekeliling. Melihat tirai biru yang tertutup di sampingnya, lelaki itu pun menyadari di mana posisinya saat ini.
Arya mencoba untuk bangun, namun merasakan sesuatu menindih tangan kirinya. Dia menoleh dengan perlahan, melihat sesosok gadis merebahkan kepala dengan rambut yang menutupi wajah. Walau begitu, Arya tahu dengan jelas siapa gadis itu. Vanka Novelia, gadis yang baru saja ditemuinya beberapa saat lalu.
Arya mencoba menggali ingatan, bagaimana dia bisa ada di sini? Ditambah lagi, dengan Vanka?
Padahal menurut Arya, gadis itu akan menjadi orang terakhir yang mungkin membantunya—atau tidak sama sekali.
Sepengetahuan Arya, Vanka adalah gadis yang cukup cuek dengan sekitar. Tak peduli akan apa pun yang dialami orang lain, selama bukan gadis itu yang mengalaminya sendiri.
Dan gadis semacam itu mau repot-repot membantunya? Bahkan menunggui Arya di sini, hingga gadis itu tertidur.
Apakah Arya harus merasa tersanjung?
Arya berusaha menarik tangan dari bawah kepala Vanka dengan perlahan, tak ingin membuat gadis itu terbangun. Tak bisa dipungkiri, perlahan tangannya terasa kebas. Namun, gerakan pelan yang dilakukannya malah membangunkan Vanka.
"Emh, lo udah bangun?"
Suara parau Vanka memasuki indera pendengaran Arya. Gadis itu nampak menggosok mata, kemudian menyibak rambut yang menutupi wajah.
Arya memasang cengiran kecil, entah kenapa merasa sedikit salah tingkah. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Iya, baru aja."
Alhasil, Arya hanya menggaruk tengkuknya pelan sembari memerhatikan Vanka yang mengangguk.
"Ya udah, bagus deh. Lo berat, tau nggak?"
Vanka menguap lebar, kemudian menyibak tirai yang membatasi dengan ranjang di sebelahnya.
"Pergi, sana! Gue mau tidur lagi."
Selepas mengatakan itu, Vanka hilang dari pandangan Arya. Tak perlu waktu lama hingga Arya mendengar dengkuran halus dari sebelahnya.