Vanka terbangun, kemudian melihat ke arah jendela yang mulai menampakkan langit berwarna jingga. Tidurnya benar-benar nyenyak, hingga dia tak menyadari bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat. Tanpa perlu melihat jam, Vanka sudah bisa memperkirakan pukul berapa sekarang.
Gadis itu mengalihkan pandang ke atas. Menatap plafon berwarna putih selama beberapa saat, tanpa melakukan hal lain.
Vanka menghela napas, kemudian beranjak turun dari ranjang. Sebentar lagi, sekolahnya akan ditutup. Dia harus keluar sebelum itu.
Menyibak tirai, gadis itu melihat Arya yang duduk di sofa cokelat sembari memejamkan mata. Di sebelah lelaki itu, terdapat dua tas ransel yang salah satunya sangat dikenali Vanka. Ranselnya.
Vanka mengambil ransel berwarna hitam miliknya, meninggalkan ransel berwarna biru dongker. Gadis itu berjalan keluar UKS, tak berniat membangunkan lelaki yang tertidur.
"Lo nggak mau ngomong terima kasih, gitu? Gue udah jauh-jauh ambilin tas lo yang hampir kekunci di kelas."
Yah, ternyata dirinya salah. Lelaki itu tak tertidur.
Vanka menghentikan langkah, melirik ke arah lelaki yang kini sudah berdiri.
"Makasih. Puas lo?"
Kemudian melanjutkan langkah ke arah gerbang tanpa menoleh ke belakang.
Sementara Arya hanya tersenyum kecil. Bisa-bisanya Vanka mengatakan terima kasih dengan nada seketus itu. Sekilas, Arya bisa melihat raut wajah yang tak bersahabat. Gadis itu nampak terganggu dengan perkataannya.
Arya berjalan dengan langkah cepat. Melihat punggung yang diyakini sebagai milik Vanka, lelaki itu berlari mengejar.
"Nggak ikhlas banget, sih. Setau gue, bukan gitu caranya ngomong makasih. Seharusnya, lo ngomong sambil senyum lebar gitu."
"Ngapain lo ngajarin gue soal keikhlasan? Bukannya lo yang nggak ikhlas ngambilin tas gue? Seinget gue, gue juga nggak pernah minta bantuan lo, tuh?"
Langkah Arya terhenti. Lelaki itu menyungging senyuman lebar sebelum kembali menyusul langkah Vanka. Kali ini, berada di depan sang gadis.
"Iya, lo nggak minta bantuan gue. Emang gue yang inisiatif sendiri. Tapi, gue ikhlas kok ngambilin tas lo. Lagian, cuma gitu doang."
Arya berusaha mengamati ekspresi yang timbul di wajah Vanka, sekali pun itu artinya dia harus berjalan mundur.
Sayang, semua tak berjalan sesuai harapan. Wajah Vanka tetap sedatar tadi, tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Vanka Novelia memang serupa gunung es yang dingin dan sulit ditaklukkan.