"Malem, Van. Gue pulang dulu, ya. Besok pagi gue jemput."
Vanka tersenyum lepas seraya mengangguk. Melihat sekali lagi wajah Ervan dari jendela mobil, kemudian melangkah ke arah pintu rumah. Berhenti tepat di depan pintu putih, senyuman Vanka hilang.
Gadis itu mengamati pintu di depannya, mengulurkan tangan, bersiap untuk membuka. Namun, tangannya bergetar. Vanka urung membuka pintu tersebut. Tubuhnya justru berbalik, melangkah menjauh.
Vanka tak punya tujuan, tentu saja. Tapi baginya, lebih baik berjalan tanpa arah dan tujuan daripada harus memasuki rumah.
Vanka melihat kedua tangan yang masih bergetar hebat. Dikepalkan kedua tangan, kemudian dibiarkan tangan itu berada di sisi tubuh.
Gadis itu melihat cahaya terang, yang ternyata berasal dari sebuah minimarket. Membuka pintu bening itu, kemudian mengambil beberapa camilan secara asal.
Vanka duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket. Membuka bungkus camilan, kemudian memasukkan banyak-banyak ke dalam mulut. Tak lama, air matanya jatuh, entah untuk alasan apa.
Handphone Vanka berdering, menandakan pesan masuk. Dibukanya notifikasi itu, senyuman terbit saat melihat nama pengirim. Ervan.
Gue baru sampe rumah, Van. Lo udah tidur?
Vanka tersenyum kecil. Gadis itu mulai mengetik dengan satu tangan yang tidak kotor.
Belom, kok.
Sebuah notifikasi kembali masuk.
Loh, kok belom? Udah malem, Van. Gue nggak mau lo sakit. Atau mau gue temenin sampe tidur?
Vanka tersenyum membaca pesan itu. Tak bisa dipungkiri, dirinya merasa bahagia saat diperlakukan sedemikian manis oleh Ervan. Di sisi lain, hatinya terasa sakit untuk alasan berbeda. Namun, alasan itu yang membuat Vanka tak pulang ke rumah.
Nggak usah, lo tidur aja. Pasti capek, kan? Met malem, Ervan. Gue sayang lo.
Setelah mengirimkan pesan itu, Vanka memasukkan handphone ke saku. Bukan karena dia tak menunggu balasan dari Ervan, namun karena sebuah notifikasi yang masuk bersamaan dengan pesan yang dia kirim.
Kak Vanka, pulang. Udah ditunggu Papa. Papa marah pas tau Kak Vanka belum pulang. Nava takut, Kak.
Vanka sempat melihat beberapa chat yang kurang lebih berisi sama. Gadis itu merasa bimbang, haruskah dia pulang ke rumah sekarang?
Jujur dirinya tak ingin, tapi bukankah papa akan lebih marah jika dirinya pulang lebih larut?
Vanka berdiri, berjalan dengan langkah cepat untuk kembali ke rumah.
"Nggak apa-apa, nggak apa-apa, Van. Lo bisa."
Berulang kali Vanka mengulang kalimat yang sama, guna menyemangati diri sendiri. Dia takkan peduli lagi. Apa pun yang keluar dari mulut lelaki itu, Vanka akan terima.
Kali ini, Vanka tak berpikir ulang untuk membuka pintu rumah. Bahkan, gadis itu membukanya dengan keras. Melangkah dengan cepat dan wajah dingin, walau melihat seseorang yang duduk di sofa ruang tengah.