"Lo kenapa, Van? Kok kusut gini? Lagi ada masalah?"
Ervan bergegas turun dari mobilnya saat melihat Vanka yang nampak kacau. Bahkan, sepatu gadis itu tak terpasang di tempatnya.
Ervan menyingkirkan rambut yang menempel di kening Vanka. Sedikit pun tak merasa jijik meski wajah itu dipenuhi tetes-tetes keringat. Lelaki itu justru menatap Vanka dengan pandangan khawatir.
Ervan mengambil sepatu Vanka, memasangkan sepasang sepatu itu di tempatnya. Setelahnya, dia merangkul Vanka. Membawa gadis itu menuju ke dalam mobil, kemudian berputar menuju pintu di sisi satunya.
"Pantes tadi malem kayaknya lo agak aneh. Tumben banget nggak mau gue temenin sampe tidur. Maaf ya, gue kurang peka sama keadaan lo."
Vanka menggeleng. Matanya justru merasa pedas karena merasakan perhatian yang diberikan oleh Ervan. Rasanya, dia ingin menangis saja dan menumpahkan segalanya kepada Ervan.
Tapi ... Vanka tak boleh membebani Ervan lebih dari ini, kan?
"Gue nggak apa-apa, Ervan. Nggak ada masalah, kok."
Suara yang keluar dari mulut Vanka begitu serak, hingga kening Ervan mengerut. Lelaki itu tampaknya bisa mengendus kebohongan dari kata-kata Vanka.
"Van, gue paling nggak suka ya kalo lo udah kayak gini. Lo pikir, udah berapa lama kita kenal? Lo nggak perlu boong sama gue, Van. Kalo lo nutupin semuanya, yang ada gue tambah khawatir."
Mendengar kalimat yang diucapkan dengan penuh ketulusan itu membuat air mata Vanka turun, setelah mati-matian ditahannya.
Vanka lupa, sebaik apa lelaki di sebelahnya ini. Lelaki yang mau mengutamakan kepentingan Vanka di atas kepentingannya sendiri, selalu ada untuk Vanka di saat lelaki itu pun memiliki masalahnya sendiri.
Vanka bertanya-tanya, kenapa lelaki itu justru mencintai dia? Kenapa harus dirinya yang tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan?
"Lo punya gue, Van. Lo selalu punya gue di samping lo. Gue akan selalu ada kapanpun lo butuh. Jadi, lo selalu bisa cerita sama gue."
Lagi-lagi, Ervan dan senyuman tulusnya itu....
Lelaki itu mengusap air mata Vanka, juga keringat yang berada di sisi wajah. Kemudian, dia merengkuh Vanka dengan erat.
"Lo boleh nangis, Van. Nggak apa-apa, lo nggak harus selamanya jadi kuat. Gue nggak butuh Vanka yang kuat. Gue mau lo apa adanya, Van."
Kini, air mata Vanka mengalir sangat deras. Tangannya yang bergetar melingkari punggung Ervan. Mencengkeram baju putih lelaki itu, kemudian Vanka terisak. Menumpahkan segala perasaan sakit hati dan kekecewaan yang selama ini dipendamnya terhadap sang papa.