"Gue minta maaf, Van. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih. Gue janji, nggak akan pernah ungkit masalah ini lagi, ya? Jadi, lo udahan dong nangisnya."
Ervan kebingungan. Berusaha menenangkan Vanka, namun tangis itu justru semakin kencang. Bahkan, beberapa orang mulai menatap penasaran ke arah mereka. Untunglah, Vanka masih tak melepaskan diri dari rengkuhan Ervan.
"G-gue nggak bisa ... berhenti."
Vanka mengusap air mata berulang kali, walau semua terasa sia-sia. Air itu tetap jatuh tak lama setelah Vanka mengusapnya.
"Lo bikin gue merasa bersalah, Van."
Ervan berulang kali mengelus kepala gadis itu. Melihat bahu yang terus bergetar sejak beberapa menit lalu.
"Ma-af."
Bahkan, ucapan gadis itu masih tersendat-sendat.
"Shht, nggak usah minta maaf. Ini salah gue, kan? Lo nggak salah, jadi nggak usah minta maaf."
Mereka terdiam beberapa detik dengan posisi yang sama. Isakan itu perlahan mereda, membuat Ervan melepas pelukan.
"Gue mau ajak lo ke suatu tempat, Van. Daripada lo nangis terus di sini, diliatin orang."
Ervan melirik sekeliling, ke arah beberapa orang yang terang-terangan menatap mereka. Dia mengulurkan tangan ke arah Vanka. Namun, tangan itu hanya ditatap oleh Vanka selama beberapa saat.
"Ayo."
Vanka menatap wajah Ervan yang lagi-lagi tersenyum secerah matahari. Matahari itu sudah mengusir semua awan mendung yang berada di hati Vanka sekarang. Karena itu, bukannya tak berlebihan jika Vanka menyebut Ervan sebagai mataharinya?
"Iya."
Vanka tersenyum tipis, kemudian meraih tangan Ervan. Mereka berjalan berdampingan, melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh rerumputan hijau.
Vanka memayungi kedua mata dengan salah satu tangan, terlalu terik di luar sini.
"Panas, ya?"
Rupanya, Ervan menangkap gelagat Vanka. Lelaki itu tersenyum tipis, menatap gadisnya dengan tatapan hangat.
"Maaf, ya? Harusnya, gue nggak ajak lo ke sini."
"Nggak, nggak apa. Gue seneng lo bawa gue ke sini. Gue jadi bisa inget kenangan dari pertemuan pertama kita. Momen bersejarah dalam hidup harus diinget, kan?"
Ervan tertawa kecil. Gadisnya ini selalu tahu bagaimana cara untuk membuat Ervan merasa terhibur. Bersama Vanka, tak terhitung berapa sering dia tertawa. Yah, Vanka memang orang yang positif. Hanya terkadang, penyampaiannya bisa membuat orang lain salah paham dan berujung menjauh.
Tapi Ervan tahu, Vanka benar-benar gadis yang baik. Sayang, hanya segelintir orang yang bisa melihat kebaikan itu.
"Lagipula, nggak ada salahnya berjemur sesekali. Kulit lo terlalu pucet."
Vanka melihat tangan dan wajah Ervan yang pucat dengan tatapan khawatir. Bukan, lelaki itu tak sakit. Memang sedari dulu kulitnya seperti itu. Vanka tak tahu alasannya, namun dia selalu merasa sedih tiap kali melihat kulit Ervan.