Kali kedua Azril mendatangi Althera Caffe, yang perlahan akan menjadi tempat favoritnya. Tempat ini ia klaim sebagai tempat pelariannya dari keramaian dunia luar. Begitu ia melangkah masuk, matanya langsung mencari sudut ruangan yang sama.
Di sana, seperti sebelumnya, gadis itu duduk dengan tenang, ditemani segelas blue hawaii yang tampak segar di atas mejanya. “Oh, blue hawaii.”
Gadis ini menyukai blue hawaii sepertinya.
Kali ini ada yang berbeda. Bukan gerimis yang menemani, melainkan mentari sore yang cerah memancarkan cahaya lembut melalui jendela besar Kafe.
Cahaya itu membingkai wajah si gadis, menyoroti rambut panjangnya yanng tergerai dan menciptakan bayangan samar di meja tempat ia duduk.
Aneh. Azril memegangi dadanya. Jantungnya berdebar dengan tempo yang cepat. Dengan segala usahanya, dia mencoba bersikap biasa saja, sampai di mana sang barista membuyarkan lamunannya.
“Maaf Kak, mau pesan apa?”
“Ah, seperti biasa. Satu caramel macchiato,” ucapnya sedikit gelagapan.
Azril berjalan ke salah satu meja yang tak terlalu jauh dari sudut ruangan itu. Kali ini, ia merasa keberadaannya lebih disadari. Gadis itu sesekali mengangkat wajah, mungkin sekadar melihat keluar jendela, dan tatapannya hampir saja bertemu dengan milik Azril.
Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan layar ponselnya, meski pikirannya sepenuhnya tertuju pada gadis di sudut itu. “Apa yang membuatnya selalu terlihat seperti itu?” pikirnya, mencoba memahami tatapan kosong gadis itu yang terus menatap jalanan di luar. “Dan, kenapa aku memikirkannya?”
Di sela-sela lamunannya, Azril menyadari bahwa minuman gadis itu hampir habis. Ia menunggu, seolah menanti sesuatu terjadi, tetapi gadis itu tetap tak bergerak, hanya diam, tenggelam dalam dunianya sendiri.