Sore yang diawali rasa kecewa yang menyesakkan dan berputus asa. Azril berharap penuh terhadap secarik kertas kemarin. Sepertinya hal itu tidak berarti apa-apa bagi seseorang, seperti Indira.
Azril duduk di motornya yang terparkir di halaman Althera Caffe, menatap jendela besar Kafe dengan pandangan kosong. Kursi di sudut ruangan yang biasannya ia tempati masih kosong, hanya menyisakan bayangan harapan yang perlahan memudar.
“Sepertinya memang lebih baik menjadi orang asing,” gumamnya pelan, mencoba menerima kenyataan.
Tangannya dengan gemetar kembali memasangkan helm, sudah cukup membiarkan udara sore yang sejuk menyentuh wajahnya. Ada sedikit rasa penyesalan yang muncul, mungkin ia terlalu cepat mengambil langkah, terlalu gegabah untuk mengharapkan sesuatu yang lebih dari gadis yang bahkan tidak mengenalnya.
Mesin motornya kembali dinyalakan. Suaranya memecah keheningan sore yanng syahdu, seolah menandai keputusan Azril untuk pergi. Ia meraih stang motor, bersiap memutarnya dan meninggalkan tempat itu untuk selamanya, atau setidaknya mencoba melupakan apa yang membuatnya terus datang ke sini.
Sebelum roda motornya bergerak, sebuah tangan halus menahan pergelangan tangannya. Sentuhan itu begitu lembut, tetapi cukup untuk membuat Azril terhenti. Ia menoleh dengan cepat, mendapati Indira berdiri di sampingnya, masih dengan secarik kertas di tangannya.
“Jika tidak di Althera Caffe,” ujar Indira, suaranya tenang namun jelas, “bagaimana jika di Taman Dandelion?”
Azril terdiam, kata-kata itu mengalir begitu saja, tetapi seakan membawa arti yang lebih dalam. Taman Dandelion adalah tempat yang tersembunyi di balik jalan besar kota. Tempat itu tenang, sederhana, namun penuh dengan keindahan yang sering kali terlewatkan.
…
Hening menyelimuti mereka. Hanya desir angin malam yang bermain di antara dedaunan, sesekali membawa aroma tanah basah. Azril duduk di salah satu bangku taman, tubuhnya tegang meski ia mencoba terlihat santai. Matanya melirik ke arah gadis di sampingnya, namun setiap kali ia berusaha membuka mulut, kata-katanya seperti terhenti di tenggorokan.
Demi Tuhan, Azril mengakui jika gadis di sampingnya begitu cantik hanya sekadar polesan sederhana dari riasan yang tidak mencolok atau pakaian mewah. Indira memancarkan pesona yang sulit dijelaskan. Rambutnya tergerai lembut, sedikit berantakan karena angin malam.
Indira tetap diam, tatapannya terpaku pada bunga-bunga mawar yang bergoyang lembut diterpa angin. Wajahnya menyiratkan ketenangan, namun Azril tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketenangan itu.
‘Gue terlalu pengecut untuk hal seperti ini,’ gumamnya dalam hati.
“Jadi apa yang ingin kamu tahu dari aku?” Tanya Indira memecah keheningan, tanpa menoleh barang seinci pun pada seseorang yang tengah dilanda rasa gugup.
Azril sontak menoleh ke arah gadis itu. “Ah, itu …” Azril mencoba tertawa kecil, meski terdengar canggung. “Kenapa kamu suka Ice Blue Hawaii?”
“Kurasa bukan itu pertanyaanmu, Azril. Ada hal yang mengganggu pikiranmu, tentangku, kan?” ujarnya lembut namun pasti. Indira tersenyuum samar, senyum yang terasa lebih seperti sebuah pengakuan bahwa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi di benak Azril.
Indira mengangkat alisnya sedikit, tersenyum tipis dengan tatapan yang penuh arti. “Bahkan kamu sendiri juga tidak memiliki alasan, mengapa setiap berkunjung ke Kafe, yang kamu pesan selalu Ice Caramel Macchiato?”
Azril terdiam, terperangah oleh pertanyaan yang sederhana namun tepat menusuk. Ia tidak menyangka gadis itu akan membalikkan keadaan begitu cepat. Bahkan, Azril bertanya-tanya, dari mana Indira mengetahui namanya?
“Aku selalu memperhatikanmu di Althera Kafe. Setiap kali aku berkunjung, pemandangan pertama yang kudapat adalah kamu yang selalu duduk di pojok Kafe dengan segelas blue hawaii.” Ucap Azril, suaranya sedikit bergetar, namun ada ketegasan di dalamnya. “Tapi, yang benar-benar membuatku penasaran adalah tatapanmu. Kamu selalu menatap jalanan dengan mata yang kosong, seolah ada sesuatu yang jauh di luar sana yang sedang kamu cari.”
Azril menarik napas panjang, menatap Indira yang tetap diam. “Mungkin ini terlalu berlebihan. Aku tahu ini privasimu, dan aku tidak bermaksud mencampurinya. Tapi sungguh, ada sesuatu tentangmu yang menarikku. Sesuatu yang aku belum sepenuhnya pahami, tapi aku ingin tahu lebih banyak.”
Indira menatap lurus ke depan. Sulit untuk menjelaskan bagaimana perasaannya mendengar semua itu dari mulut pemuda di sampingnya. Kata-kata Azril menggema di benaknya, menyentuh sesuatu yang sudah lama ia pendam jauh di dalam hatinya.
“Itu semua memang privasi. Tapi entah kenapa, sepertinya aku percaya padamu.” Ucap Indira sembari menoleh ke arahnya.
Azril tertegun. Kata-kata itu sederhana, namun terasa seperti sebuah pintu yang perlahan terbuka, memperlihatkan sekilas dunia yang selama ini disembunyikan oleh Indira. Ia tidak menyangka Indira akan mengatakan hal seperti itu, terlebih setelah ia mengungkapkan semua pikirannya tadi.
“Lalu, apa?”
Indira memejamkan matanya sejenak, menghembuskan napas panjang yang terdengar seperti usaha untuk menguatkan diri. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Azril perlahan, menuntunnya untuk memegangi perutnya. Gerakan itu membuat Azril bingung, tapi ia membiarkan dirinya mengikuti tanpa perlawanan.
Di balik keheningan malam, Azril bisa merasakan detak jantung Indira yang seolah berpacu dengan rasa gugupnya. Malam ini dipenuhi kebingungan sekaligus kekhawatiran.