Sesampainya di rumah, Vanessa dan Papa Vanessa duduk bersama di ruang keluarga. Papa Vanessa mencoba untuk membuka pembicaraan.
"Vanessa, Papa minta maaf karena tidak berbicara dengamu sebelumnya tentang rencana ini. Sekarang ini cuma ini jalan satu-satunya kita untuk dapat uang, Papa gak bisa kerja karena harus mengurus adikmu, cuma kamu yang bisa nolong Papa dan adik kamu agar bisa tetap bertahan hidup," ucap Papa Vanessa dengan lembut.
Vanessa menatap Papa Vanessa dengan tatapan campur aduk. "Tapi Pa, aku kan masih sekolah, aku juga masih terlalu kecil. Kalau aku kerja nanti gimana semuanya? Aku juga masih ingin bermain dengan teman-teman, dan aku tidak suka menjadi foto model," ucap Vanessa dengan ragu.
Papa Vanessa mengerti kekhawatiran Vanessa, "Papa juga tidak ingin membebani kamu. Tapi Papa sedang kesulitan, dan butuh bantuanmu."
Vanessa terdiam sejenak, mencerna semua yang telah diucapkan oleh Papa Vanessa. Ia merasa bertanggung jawab untuk membantu Papa Vanessa dan adiknya, namun juga merasa cemas tentang masa depannya dan bagaimana ia akan menjalani kewajiban sekolah dan keinginan untuk bermain dengan teman-temannya.
Akhirnya, mau tak mau ia harus menuruti kemauan papanya.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia pergi meninggalkan Papanya dan segera masuk ke kamar. Di dalam kamarnya, Vanessa merasa bingung dan sedih. Ia merenung tentang keputusan yang harus diambilnya, antara membantu Papa Vanessa atau tetap fokus pada pendidikan dan kehidupan sosialnya sebagai seorang pelajar.
Sambil duduk di atas ranjang, Vanessa merenungkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Hatinya ingin membantu Papa Vanessa, tapi ia juga tidak ingin mengorbankan masa kecilnya dan masa depannya.
Dengan berat hati, Vanessa melanjutkan untuk tetap bekerja sebagai foto model sesuai kemauan Papa Vanessa.
Vanessa akan menjalani kehidupan yang padat dengan sekolah dan pekerjaan. Ia harus mengorbankan waktu bermain dan masa kecilnya demi pekerjaan tersebut.
******