Hari demi hari berlalu dengan cepat, dan tiba-tiba sudah tiga bulan berlalu sejak Vanessa dipenjara. Saat itulah, akhirnya tibalah waktu Vanessa untuk keluar dari masa tahanannya.
Dengan perasaan campur aduk, Vanessa melangkah bebas keluar dari jeruji besi. Perasaannya begitu berbaur antara lega, takut, dan haru. Setelah tiga bulan yang sulit dan penuh tekanan di balik jeruji, kini dia bisa merasakan kembali udara segar dan cahaya matahari yang menyapa wajahnya.
Dengan hati berdebar-debar, Vanessa meraih ponsel yang telah disita polisi selama masa tahanannya. Setelah beberapa saat ragu, ia memutuskan untuk memberikan kabar bahagia ini kepada teman-temannya terlebih dahulu. Ia ingin berbagi kebahagiaan ini dengan orang-orang terdekatnya yang juga telah memberikan dukungan selama masa tahanannya.
Ia mengirim pesan singkat kepada teman-temannya, "guys, gue bebas! Akhirnya gue keluar dari tahanan."
Teman-teman Vanessa merasa senang dan bahagia mendapatkan kabar tersebut. Mereka segera memberikan ucapan selamat dan menyatakan rasa lega bahwa Vanessa akhirnya bebas dari tahanan
Sementara itu, ponsel Bibi penuh dengan pesan dari teman-temannya yang memberitahunya bahwa Vanessa sudah bebas. Setiap pesan yang masuk membuat Bibi semakin bingung dan kecewa, bagaimana bisa Vanessa belum memberi kabar padanya?
Bibi terdiam sejenak, hatinya berkecamuk. Ia merasa seolah semua usahanya selama ini telah sia-sia. Ia telah berkorban begitu banyak dan selalu ada untuk Vanessa, tapi kenapa Vanessa tidak mencarinya kini? Mengapa Vanessa belum memberi kabar kepadanya?
Ia menunggu beberapa saat, berharap ada pesan dari Vanessa yang masuk. Namun, setelah beberapa jam tak ada pesan yang datang. Bibi tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan hati yang berat, ia langsung menelfon Vanessa.
Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya diangkat oleh Vanessa. Suara Vanessa terdengar lemah dan sedikit ragu, "Halo?"
"Halo, Ness," jawab Bibi dengan suara yang terdengar sedikit cemas. "Gue denger kabar kalo lo udah bebas. Kenapa lo belum memberi kabar ke gue?"
Vanessa terdengar terbata-bata saat menjawab, "maafin gue, Bi. Gue... gue sebenarnya mau kasih kabar ke lo, tapi gue bingung... gue ngerasa bersalah dan takut ganggu hidup lo lagi setelah semuanya terjadi. Gue... gue takut lo gak mau lagi ketemu gue setelah semua yang terjadi."
Bibi merasa hatinya sedih mendengar jawaban Vanessa. Ia sadar bahwa Vanessa pasti mengalami banyak hal selama masa tahanannya, termasuk perasaan bersalah dan takut. Bibi ingin meyakinkan Vanessa bahwa persahabatan mereka tetap berarti baginya.
"Ness, dengar gue ya. Gue gak akan ninggalin lo. Gue selalu ada untuk, Lo." ucap Bibi dengan tulus.
Vanessa terdiam sejenak mendengar ucapan Bibi. Ia merasa terharu dan lega mendengar dukungan dari sahabatnya itu. "Makasih, Bi. Gue kangen banget sama lo selama masa tahanan gue. Gue gak bisa ilangin pikiran gue tentang lo," jawab Vanessa dengan suara yang penuh emosi.
Mendengar jawaban Vanessa, Bibi merasa lega dan bahagia.
Setelah berbicara dengan Bibi melalui telepon, Vanessa merasa semakin yakin bahwa ia ingin bertemu langsung dengan Bibi.
Tanpa ragu lagi, Vanessa memutuskan untuk terbang ke Jakarta untuk menemui Bibi. Ia ingin berbicara tatap muka dan memperbaiki hubungan mereka yang sempat terganggu. Vanessa merasa bahwa pertemuan langsung akan lebih bermakna daripada sekadar berbicara melalui telepon.
Dengan hati yang penuh harap, Vanessa merencanakan perjalanan ke Jakarta. Ia mengatur tiket pesawat dan akomodasi untuk menginap. Setelah semuanya siap, ia segera berangkat menuju bandara.
Saat pesawat mendarat di Jakarta, Vanessa merasa campur aduk perasaannya. Ia merasa gugup dan bahagia sekaligus. Gugup karena tak sabar ingin bertemu dengan Bibi dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Bahagia karena akhirnya ia bisa berjumpa dengan Bibi yang telah lama tak terlihat.
Setelah keluar dari bandara, Vanessa langsung menuju hotel dimana Bibi tinggal.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan Bibi muncul dengan senyuman hangat di wajahnya. "Vaness!" ucap Bibi dengan suara bahagia.
Vanessa tersenyum lega dan memeluk Bibi erat. "Gue kangen banget sama lo, Bi," ucapnya sambil memeluk erat Bibi.
Setelah pelukan yang lumayan lama itu, Bibi tersenyum hangat dan mempersilahkan Vanessa untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Silakan masuk, Ness." ucap Bibi dengan penuh kebahagiaan.
Vanessa tersenyum balik dan mengikuti Bibi masuk ke dalam rumah. Mereka berdua duduk di ruang sofa, dan suasana hangat terasa lagi.
"Gimana kabar lo, Ness?" tanya Bibi sambil menyodorkan segelas air minum kepadanya.
Vanessa menerima gelas air dan menjawab, "
Gue baik-baik aja, Bi. Cuma sedikit terpukul sama semua yang terjadi akhir-akhir ini."