Tik… tok… tik… tok…
Terdengar samar suara khas ketukan bambu sang tukang bakso menyapa mendungnya langit Surabaya.
Cuaca saat itu sangat mendukung untuk bersantai di rumah saja. Terik matahari seolah-olah tak ingin menyinari kota Surabaya. Langit yang biasanya berwarna biru cerah berbalut awan putih tak lagi terlihat. Ini adalah pertengahan musim hujan di Surabaya. Sesekali hujan turun rintik-rintik, lantas berhenti, namun mendung tetap menemani hari minggu di akhir bulan Februari tahun itu.
Suara itu semakin mendekat.
TIK… TOK… TIK… TOK…
Tak lama kemudian, Gerobak bakso terlihat melewati gang sempit di depan rumah Latifah. Ia yang sedang duduk santai bersama Gandhi kompak berkata “BAKSO.” Mereka pun tertawa bersama, “HAHA.”
Latifah langsung berlari menuju tukang bakso yang ada di depan rumahnya tanpa memakai alas kaki, “Pak baksonya empat ya!” pinta Latifah kepada Bapak penjual bakso.
“Oke Mbak, empat ya Mbak,” sahut Bapak penjual bakso. “Pakai mangkok sendiri atau gimana Mbak?”
Latifah dengan spontan memukul kepalanya menggunakan tangan kanannya yang sudah mengepal, entah sejak kapan. “Bentar Pak, saya ambil mangkok.” Segera ia menuju dapur untuk mengambil barang yang ia janjikan kepada penjual bakso. Tanpa menyapa Ibunya yang berada di dapur, ia membawa empat mangkok berwarna coklat transparan lengkap dengan sendok dan garpu.
“Emang paling enak ya, kalau mendung-mendung gini makan bakso,” Ayah Latifah, yang tadinya sedang menonton berita sore di salah satu stasiun televisi, ikut nimbrung bersama mereka dan segera duduk di kursi sebelah Gandhi.
“Ya, Pak, mantab banget dah,” tambah Gandhi sembari tersenyum sumringah menanggapi Ayah Latifah.
Tak ingin ketinggalan, Ibu Latifah yang sedang mencuci piring di dapur berkata, “Ya sudah, sekalian sama lontongnya Nduk2. Biar Ibu enggak usah masak.” Walau lirih, suara tersebut masih terdengar oleh mereka karena letak dapur yang bersebelahan dengan ruang tamu dan dekat dengan pagar rumah.
Gandhi dan Ayah Latifah terkekeh-kekeh mendengar apa yang dikatakan Ibu Latifah.
“Siap Buk,” sahut Latifah yang tengah berjalan meninggalkan Ibunya di dapur.
Latifah adalah seorang wanita yang terlahir dari keluarga sederhana. Nama lengkapnya adalah Davina Nur Latifah. Ia adalah anak tunggal dari Bapak Idris dan Ibu Zakiyah. Sosoknya adalah wanita yang sangat mencintai keluarga. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang sangat rajin dan pekerja keras. Walau berasal dari keluarga yang sederhana, diusianya yang menginjak 30 tahun, ia sudah menyelesaikan S3-nya di Universitas Ailangga, Surabaya melalui beasiswa program Pendidikan Majister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Ia lulus dari S3 saat usianya 27 tahun. Saat ini, ia telah menjadi Dosen tetap di salah satu Universitas Swasta di Surabaya.
Gandhi memiliki nama lengkap Muhammad Gandhi. Ia berasal dari keluarga yang sangat mapan. Kedua orang tuanya adalah Dosen di Dua Universitas ternama di Surabaya. Gandhi baru saja menyelesaikan S3-nya di Osaka University, Jepang pada bidang Bioteknologi. Sebelum ia melanjutkan S3, ia sudah menjadi dosen tetap di salah satu Universitas Negeri di Surabaya.
Gandhi sudah lama mengenal Latifah. Cerita kedekatan mereka dimulai sejak mereka kelas 2 SMP. Paras cantik wajah Latifah yang dibalut dengan kerudung serta kesantunannya kepada orang tua membuat sosok Gandhi tidak bisa menoleh sedikit pun kepada wanita lain. Hal yang sama juga dirasakan oleh Latifah. Gandhi adalah sosok idola dimanapun ia berada. Wajah tampannya tidak bisa diragukan lagi, karena ia mewarisi darah Arab dari Ayahnya dan darah Madura dari Ibunya. Secara fisik, mereka adalah pasangan yang sangat serasi.
“Pak bos, mau campur atau bagaimana?” teriak Latifah dari luar pagar rumahnya.
“Aku sukanya paket komplet dah,” sahut Gandhi yang masih duduk bersama Ayah Latifah di kursi teras rumah Latifah.
Walau aliran air kran memecah kesunyian dapur kecil milik keluarga Pak Idris, Ibu Latifah yang mendengar percakapan mereka berkata, “Bapak dan Ibu juga paket komplet Nduk.”