Latifah melirik jam tangannya. Jam makan siang hampir saja habis. Namun yang ditunggu Latifah tak kunjung datang. Detik waktu terus bertambah menghabiskan setiap kesempatan yang menurut Latifah adalah hal yang sangat berharga. Hampir saja ia membongkar isi tasnya. Tiba-tiba terdengar pesan WA4 masuk. Latifah meraih ponselnya yang sedari tadi nangkring di atas tumpukan buku. “Aku parkir di depan masjid,” begitu isi pesan yang tertulis dari sebuah nama ‘Pak Bos’.
Dengan gercep-nya Latifah membalas, “Sebentar ya, aku turun.”
Latifah beranjak dari tempat duduknya dan menenteng map yang berisi berkas-berkas yang sudah ia siapkan. Tidak terlihat siapapun di ruang tersebut. Sunyi. Meja dan kursi tertata rapi. Almari yang berisi buku–buku membuat suasana ruang tersebut lebih mirip perpustakaan kosong, bukan ruang dosen. Ia menoleh ke berbagai arah. Dalam hatinya berkata, “Tidak ada siapa-siapa.” Langkah kakinya yang pasti, berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan. Beberapa langkah dari pintu terdapat anak tangga. “Tek… tek…” Ia berjalan menuruni tangga dengan sangat cepat. Ia tidak ingin Gandhi menunggunya terlalu lama. Walau demikian ia masih ramah membalas sapaan mahasiswanya yang tidak sengaja lewat disekitarnya.
“Ibu,” sapa salah satu mahasiswanya sambil tersenyum dan menundukkan badan.
Latifah membalas senyum mahasiswanya dan berkata, “Ya Mbak.”
Dia melanjutkan langkah kakinya menuju tempat parkir.
Latifah segera menuju mobil Honda Jazz berwarna merah yang terparkir tepat di depan masjid. Dari kejauhan tampak Gandhi sedang berdiri di dekat pintu depan mobil, sebelah kiri, yang lurus dengan arah datangnya Latifah.
Gandhi melambaikan tangannya kepada Latifah sembari memajang senyum di wajah tampannya.
Nampak senyum manis Latifah membalas lambaian tangan Gandhi.
“Siap Nyil?”
“Siap dong,” jawab Latifah penuh dengan rasa optimis.
Gandhi membuka pintu mobil untuk Latifah.
“Makasih Pak bos.”
Gandhi segera masuk ke dalam mobil.
Mobil keluar dari tempat parkir menuju kantor Pengadilan Negeri Surabaya. Selama perjalanan mereka berdiskusi tentang apa yang akan mereka sampaikan kepada pihak Pengadilan Negeri Surabaya.
***
“Gimana kalau mereka menolak kita?” Latifah menoleh ke arah Gandhi sembari mengangkat alis kanannya dengan sempurna.
“Emm,” Gandhi bergumam. “Kalau aku jadi mereka, aku senang sekali. HAHA. Bayangkan, setiap hari kita mendengar orang berselisih dan membaca gugatan-gugatan perceraian. Enggak bisa bayangin, aku aja denger kamu ngomel udah bosen banget. HAHA.”
“Masih sempat bercanda?” Latifah menanggapi dengan datar.
“Apa yang kita lakukan untuk kebaikan dan menemukan jawaban atas tingginya kasus perceraian adalah topik yang sangat menarik. Aku aja dengar ide gilamu ini langsung tertarik. HAHA.” Tawa Gandhi terbahak-bahak.
“Menemukan jawaban berarti kita akan berhadapan dengan masalah baru. Masalah baru itu adalah bagaimana kita menemukan jalan keluar untuk mengatasinya,” Latifah menanggapi candaan Gandhi dengan serius.
Gandhi menoleh ke arah Latifah. Wajah serius itu tidak bisa berbohong dari pandangan Gandhi. Sembari mengembalikan posisi kepalanya untuk fokus mengemudi ia berkata, “Solusinya adalah pendataan DNA semua warga, abis itu Pemerintah yang menetapkan si A nikah sama si B. Alasannya karena DNA mereka memiliki tingkat kemiripan yang tinggi. Kalau mereka tidak mau, maka ada sanksinya, misalnya… harus menikahi pasangan yang telah ditetapkan pemerintah, HAHA, maksa ya?”
“HAHA,” Latifah tertawa lepas. “Wah, wah, Pak bos sudah mendesainnya rupanya. Aku juga berpikir seperti itu. Tapi itu bukan hal yang mudah dan mungkin saja akan ada demo besar-besaran di lapangan monas, HAHA,” Latifah pun tertawa terbahak-bahak.
“Kamu setuju atau tidak?” Tanya Ghandi yang masih fokus mengemudikan mobilnya.
“Setuju dong…” jawab Latifah. “Pemerintah harus siap-siap anggaran besar kalau menuruti pendapat kita, hehe.”
“Demi apa coba?”
“Demi apa emangnya?”
“Demi kamu lah,” canda Gandhi.
“Idih, enggak lucu.”
“Ya, demi kamu yang selalu ada di hatiku.”
“Mulai lagi, nyetir yang bener dah!”
Gandhi melepaskan tangan kanannya dari setir dan berhormat ke arah Latifah, “Siap Unyil, HAHA.”
***
“Pak bos udah tahu tempatnya belum?” Tanya Latifah.
“Belum, tadi aku dah lihat di google map. Jalannya lewat sini, coba buka google map dong!”
Latifah merogoh isi tasnya. Karena tak terdeteksi oleh tangannya, ia membuka lebar tasnya dan mencari ponsel satu-satunya yang ia miliki. “Nah, ini dia,” ucapnya lirih. Ia menulis “Kantor Pengadilan Negeri Surabaya.” Layar ponselnya berubah dan menampilkan letak Kantor Pengandilan Negeri Surabaya. Ia menekan tanda bertuliskan “Directions” dan “Start”.
“Kurang 5 menit lagi sampai Pak bos.”
Sesampai di pertigaan Gandhi bertanya, “Abis ini kemana?”
“Belok kanan, lalu lurus aja. Kanan jalan Pak bos.”
“Siap.”