Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #2

Pancaindra (1)

Mei, 1998

Rasa kemanusiaan dalam diri Indri menggeliat. Berhadapan dengan korban kali ini adalah mimpi buruk bagi pancaindra. Pisau dalam genggaman erat Indri seolah bernapas dengan merintih. Ada kepedihan yang sekarat dalam jiwanya tatkala menyaksikan bekas-bekas sayatan yang sengaja ditoreh di bagian-bagian tertentu dari tubuh korban. Bahkan, ada luka sempit selebar mata pisau di sekitar dada. Indri sudah memeriksa untuk mengukur kedalamannya tadi. Prosedur tersebut kemudian berujung pada rasa mual tak terkira sehingga cukup sebagai alasan baginya untuk tidak mendeskripsikan lebih rinci. 

Indri benci ini. Ia menatap nanar bekuan darah hitam yang menimbun mata luka berbentuk relief “jangkar” pada permukaan kulit korban. Pelakunya mungkin berpikir kulit yang dulunya kuning langsat itu adalah kanvas untuk melukis, tetapi bisa dipastikan orang itu gila. Atau mungkin saja, orang-orang itu.

Di dekat mata luka, tampak lebam mayat berkumpul lebih padat, besarnya satu kepalan lelaki dewasa. Jelas tidak wajar. Rasa muak kini berkumpul di ujung jemarinya yang menumpul. Ingin rasanya ia cepat-cepat menyelesaikan ini–menemukan tanda-tanda sebab kematian yang tersembunyi di bawah permukaan menyedihkan. Selekasnya mengungkap cerita yang disampaikan oleh jenazah di hadapannya.

“Stop! Tidak perlu Anda lakukan itu, Dokter!” 

Mata pisau di tangannya telah terarah untuk menembus tulang dan menyentuh lapisan daging yang kaku. Namun, perintah itu terdengar menuntut, hingga niatnya pun surut. Pisau itu pun dicabut, lantas diletakkan di atas meja. Ia meloloskan begitu saja bukti visum yang kini terancam lenyap oleh sebaris kalimat pemungkas. Seorang aparat polisi berbadan tegap, rambut rapi mengilap, serta mengenakan jaket kulit hitam berdiri di seberang meja autopsi seraya menatap tajam.

“Maaf?” Indri menyipitkan kelopak mata seakan sedang mengecilkan pandangan terhadap lelaki menarik usia tiga puluhan di depannya. Baru pertama kali ia melihat penyidik ini. Ia cukup  yakin.

“Tidak perlu Anda periksa-periksa dalam. Cukup bagian luar saja.”

“Dok, maaf. Tadi ….” Seorang dokter muda dengan papan tentamen dalam pelukan, kemudian menyusul masuk. Wajahnya tampak gugup. Mahasiswi itu kehilangan kata-kata karena tiba-tiba terjebak dalam situasi rumit. Ia gagal menahan sang aparat untuk tetap berada di luar selama masa pemeriksaan.

Lihat selengkapnya