Mei, 1998
Sebuah nametag bertuliskan “dr. Indriana Tamam., Sp.F” tergeletak di atas meja. Benda itu baru saja Indri lepaskan dari jas dokter yang rencananya akan ia cuci karena sudah lengket oleh bau mayat. Tak jarang, teman-teman kuliahnya dulu mengolok nama itu dan memelesetkannya menjadi “Indriana Tan”. Semua karena warna kulitnya yang putih cerah. Juga tepi atas matanya yang mulus tanpa kelopak sehingga mirip peranakan Tionghoa. Namun, sepasang mata miliknya bisa dikatakan bulat berbinar meskipun berukuran kecil. Kedua ujungnya agak melengkung ke bawah dan memancarkan kelembutan.
Lantaran kerap mengalami pola perundungan yang sama, Indri pernah menanyakan perihal ini kepada orang tuanya, tetapi mereka tidak punya jawaban tepat yang memuaskan. Asal usul keluarga mereka berakar dari masyarakat yang majemuk. Beragam etnis sudah bercampur aduk sehingga tidak jelas lagi mana yang paling menonjol. Satu-satunya keyakinan mereka yang tak pernah berubah adalah mereka bumiputra tulen, dari mana pun keturunan sebelumnya berasal. Dalam setiap kelahiran, ada saja anak dalam keluarga mereka yang terlahir dengan memborong semua ciri-ciri khas tadi.
Sayang, ingatan konyol tersebut gagal mengalihkan perhatian Indri walaupun sejenak. Isinya kepalanya tidak jauh-jauh dari ruang autopsi dan serangkaian insiden di dalamnya. Indri berusaha membuat dirinya tetap tegar selagi orang-orang turun ke jalan dan menyemut di lapangan. Aksi damai demonstrasi berakhir ricuh di mana-mana. Intuisinya mengatakan bahwa pergerakan mahasiswa telah ditumpangi oleh sesuatu yang misterius dan berbahaya.
Dan, ini adalah tubin, hari keempat yang mencekam. Karena itulah, ia bisa mengerti sedikit alasan di balik sikap tidak bersahabat penyidik pertama yang ia temui barusan. Tekanan situasi dalam serbaketidakpastian telah membuat orang-orang panik, tak luput para aparat. Pada akhirnya, kekacauan akibat tragedi Mei menyebar ke seluruh orang di ibu kota bagai penyakit menular. Jika berita besar ini telah sampai ke seluruh Indonesia, maka mereka tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya terlibat langsung di dalamnya.
“Dokter menginap di sini atau balik?” Sang asisten melongok ke dalam ruang kerjanya dan segera dibalas dengan sebuah gelengan.
“Pulang saja,” timpal Indri, ketika mendapati jam dinding telah bergerak melewati angka delapan. Tumpukan pekerjaan hari ini sudah ia tuntaskan. Sebagian jenazah yang masih bisa diidentifikasi, sudah diambil oleh pihak keluarga. Sementara yang tidak, rencananya akan dimakamkan secara massal di beberapa TPU. Saat ini, Indri hanya butuh rumah untuk melepas penat dan lelah. Meskipun ia tahu percuma karena esok hari niscaya terulang. Semoga tidak makin banyak jenazah-jenazah dengan kematian tidak wajar datang.
Pulang adalah urusan yang tidak sederhana. Di ruang autopsi, seorang aparat boleh saja mengancamnya dengan kata-kata setajam pelor. Namun, begitu ia melangkah melewati gerbang rumah sakit, jalanan lengang menyambutnya dan mengirimkan gelombang rasa takut. Sesuatu yang berbeda daripada ketika ia harus berhadapan dengan beraneka rupa kematian manusia. Jakarta tidak pernah semati ini. Debar jantungnya meningkat tajam ketika melihat bayangan seseorang berbelok di tikungan. Ia masih dalam setengah perjalanan menuju indekos yang berada dekat area rumah sakit. Gerimis mengguyur langit Jakarta dan sekitarnya. Sisa asap mengepul dari bekas kendaraan terbakar di satu sudut jalan. Aroma gosong berbaur di udara, lalu diusir oleh angin ke angkasa. Indri tidak pernah segelisah ini menempuh malam. Cahaya benderang Jakarta seolah sedang bersembunyi bersama ketakutan dari wajah orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan.[]
September, 1998
Beberapa bulan kemudian, Indri masih berjuang memahami apa yang tengah terjadi dengan bangsa ini: dua belas Mei menambah daftar noktah hitam pada wajah demokrasi. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti gugur dalam demonstrasi. Tragedi itu bagai martir yang memicu gejolak massa usai pemakaman keesokan harinya. Bukan hanya Jakarta yang disemuti oleh demonstran, tetapi juga beberapa kota besar lain di Indonesia. Gelombang aksi mulai terjadi bagai kartu domino yang dijatuhkan di berbagai tempat. Massa yang bergerak mulai terprovokasi. Tiada lagi aksi damai. Mereka mulai berani merusak dan menjarah di kawasan Glodok.
Tidak berhenti di sana, gelombang kerusakan makin meluas dan tidak terkendali. Setelah mendekati Ancol, kerusuhan menyebar ke selatan dan barat, hingga akhirnya mencapai pusat. Dalam tiga hari, Jakarta lumpuh. Mobil-mobil lapis baja cuma berjajar sebagai pajangan di jalan-jalan, sementara armada polisi dibantu oleh barisan tentara yang bertugas mengawal ibu kota, membeku menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka seakan tidak berdaya menghadapi amuk massa. Kemudian beredar rumor bahwa turun perintah dari atas untuk tidak menindak tegas para pelaku penjarahan.
Celakanya, para provokator seakan tahu betul bagaimana cara membakar amarah massa. Mereka diturunkan dari truk kontainer atau kendaraan bermotor, lalu orang-orang itu akan berteriak memancing seraya melempari pertokoan dengan botol, batu, hingga bom molotov. Warga setempat menyaksikan bahwa orang-orang itu adalah sekumpulan lelaki dewasa tak dikenal, mengenakan seragam SMA atau mengaku mahasiswa, bahkan ada yang bertato seperti gambar jangkar. Dari laporan-laporan media, Indri bisa membayangkan betapa terorganisasinya mereka.
Teori-teori konspirasi tentang tragedi Mei 1998 kemudian bergulir liar di meja operasi, ruang gawat darurat, meja jaga ruang perawatan, serta di berbagai sudut rumah sakit, terutama di kalangan dokter muda yang terkenal kritis. Awal tahun yang suram. Kegiatan perkuliahan di kampus dan universitas seluruh Jakarta dinonaktifkan selama satu semester, tetapi mereka masih saling terhubung dalam forum-forum mahasiswa.
Tidak ada yang bisa mengekang gerakan mahasiswa saat itu. Arus reformasi sudah tidak terbendung, walaupun harapan akan terkabulnya seluruh cita-cita reformasi masih berupa kabut samar. Tidak banyak perubahan situasi pasca turunnya Soeharto 21 Mei lalu yang bisa dinikmati dalam sekejap. Bahkan, tidak sedikit rakyat kecil jatuh sebagai korban. Lepas dari satu rezim, lantas jatuh di rezim serupa.
“Menjijikkan.”
“Maaf?” Salah seorang dari tim pencari fakta terkejut. Tadi Indri ditanya soal korban kekerasan seksual yang pernah ia tangani sepanjang tragedi Mei. Namun, malah jawaban spontan itu keluar dari mulutnya.