Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #5

Orang Lain yang Sama

May Day, 2022

Sorak-sorai bergemuruh mengalahkan kebisingan lalu lintas di Jalan Gatot Subroto. Asalnya dari massa yang berkerumun di depan gedung DPR-RI. Mereka berjubel hingga ke jalan protokol. Sebelum melakukan konvoi ke Stadion Gelora Bung Karno, perwakilan dari serikat buruh melakukan orasi untuk menolak amandemen UU Cipta Kerja. Tak ketinggalan, organisasi-organisasi lain turut serta menyuarakan aspirasi masing-masing, termasuk para aktivis perempuan. 

Berlainan dengan tuntutan-tuntutan lain, terdengar suara sopran perempuan dari kerumunan yang agak terisolasi, berorasi lewat megafon, “Menyalakan kembali peringatan Mei 1998, puncak dari  perjuangan reformasi, tetapi masih ada sisa PR yang belum selesai. Rakyat kecil, etnis minoritas, serta kaum perempuan telah menjadi korban dan masih berjuang menjemput keadilan. Kami menolak menjadi martir!” Perhatian pengendara terbagi antara sekumpulan mahasiswa berjas almamater hijau dan orasi massa lebih besar yang berlangsung tepat di depan gerbang. Mahasiswi yang berorasi tadi mengenakan slayer hitam di kepala, serta masker berwarna seragam. Ia berdiri di atas sebuah peti kemas dari kayu yang berubah fungsi menjadi podium darurat. Suara merdunya terdengar lantang menantang panas ibu kota.

“1740, Belanda mengusir dan membantai Tionghoa Benteng di Tangerang. Satu abad kemudian, Belanda kembali membantai orang-orang Hakka yang sudah mempelopori kemajuan tambang di Kalimantan Barat!” papar Puspa tegas hingga membius belasan pasang mata–terdengar sebagian berbisik cemas. Bagaimana tidak? Puspa sedang mengungkit rangkaian tragedi yang menimpa etnis minoritas di Indonesia serta janji keadilan yang belum terealisasi. Orasi ini bukan bagian dari skenario. 

“Mangkuk Merah, 1967, adalah bukti pengkhianatan negara terhadap pejuang Tionghoa, setelah jasa-jasa mereka mempertahankan kedaulatan NKRI di perbatasan Kalimantan Barat dan Utara. Akankah negara memperlakukan mereka sama seperti Belanda yang pernah menjajah bumi Indonesia? Apakah negara akan terus bungkam atas pelanggaran HAM yang bisa saja terulang pada kita semua!” Suara Puspa meraung, hening sejenak, lalu seseorang berteriak, “Komunis!” Lalu, lebih banyak terdengar teriakan-teriakan lain menggaung menimpali.

“Juga alat pemerintah untuk mengganyang neokolonialisme di Sabah dan Sarawak! Menggerakkan roda perekonomian saat negara mangkir dan sibuk foya-foya! Mereka juga yang membawa Islam pertama kali masuk ke Pulau Jawa!” Puspa balas menggertak. 

“Puspa, turun!” Rivai merebut megafon seraya menarik gadis itu ke bawah. Kini gilirannya menguasai podium. Ia tampak berusaha untuk tidak panik akibat agitasi yang ditimbulkan oleh orasi Puspa. Cercaan-cercaan yang tidak diketahui dengan jelas asalnya pun dibalas dengan kalimat sedingin es darinya. Rivai dengan cepat berusaha membalik suasana kembali kondusif. 

Puspa kecewa. Ia menyisih dari kerumunan mahasiswa, lalu mencari keteduhan dekat gerbang. Tidak ia hiraukan barisan aparat yang bersiaga tak jauh dari sana. Mereka hanya kelompok yang Puspa anggap bersekongkol dengan pemerintah.

“Tidak usah berlebihan. Setiap demo rawan provokator. Jangan kasih mereka kesempatan.” Kusuma menyusul, lalu menempelkan sebotol air mineral dingin ke pipinya. Puspa pun melenguh antara kesal dan senang mendapat perlakuan tersebut. Namun, Kusuma tidak berlama-lama menemani. Tatapan Puspa dengan setia melekat ke arah perginya Kusuma hingga sosok pemuda berperawakan tegap itu kembali berbaur di antara kerumunan jas hijau. 

Kusuma, pemuda itulah alasan Puspa betah menekuni aktivitas organisasi, di samping penulisan skripsinya yang sempat berantakan akibat vakum semester. Agak berbeda dengan pemuda dari keluarga ningrat umumnya, Kusuma seolah menanggalkan citra elit pada dirinya. Tidak susah untuk mendekatinya selama mereka punya satu visi dan misi. Karena itulah, ada semacam ketertarikan alami seperti magnet di antara mereka. Dengan segera Kusuma menjadi jalur tol bagi Puspa untuk mewujudkan agenda pribadinya yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Asal sang ketua mengizinkan dia memegang toa, itu sudah cukup baginya.

Pemuda itu lantas bergabung dengan Rivai yang telah menyelesaikan orasinya dan membiarkan kelompok-kelompok demonstran lain menguasai panggung Senayan. Puspa memutuskan untuk menghampiri mereka. Bila tidak mau mencari masalah dengan Rivai, ia harus meminta maaf dan menjernihkan masalah. Rencananya untuk terus aktif di BEM akan terhalang jika kehilangan kepercayaan dari sang wakil.

Keduanya berdiri bersisian. Ketua BEM dan wakilnya memang tidak terpisahkan. Kusuma dan Rivai bagai satu kepala, an berada dalam jarak yang tidak bisa dilerai oleh Puspa. Namun, ia masih punya kesempatan selama bisa membalik situasi. Puspa berencana untuk mengagetkan mereka. Tindakan klise sederhana, tetapi biasanya tidak pernah gagal menyelamatkan suasana.

Lihat selengkapnya