“Amoi itu sudah sadar?”
“Siap, Pak! Belum.”
“Cari keluarganya dan panggil kemari.”
“Siap!”
Puspa mendengar percakapan samar-samar di balik kelopak mata yang masih terpejam rapat. Namun, suara itu pulalah yang telah membangunkannya dari tidur lelap yang damai. Sepertinya, ia mengenali suara berwarna bariton dengan tekanan monoton tersebut sebelumnya. Sudah lama pemilik suara itu mengawasinya hingga Puspa merasa sedikit gentar.
Kesadarannya mulai terkumpul perlahan. Puspa sebetulnya enggan untuk membuka mata, tetapi ia gelisah ingin meregangkan otot-otot yang kaku akibat terdampar di ranjang beralas keras. Ketakutan yang ia rasakan pun menjelma makin nyata. Wajah keruh seorang lelaki sedang menatapnya dengan sorot beku. Penampilannya sudah tak lagi muda.
“Kita bertemu lagi. Sudah merasa baikan?” Ucapan lelaki itu justru berdampak sebaliknya pada Puspa. Bukannya merasa lega, gadis itu malah beringsut mundur hingga menempel ke tembok, persis di sisi ranjang. Lelaki itu hanya mendengkus pelan menerima sambutan ganjil darinya. Seakan-akan Puspa sedang bersitatap dengan sosok monster menakutkan.
“Saya … di mana?” tanya Puspa terbata.
“Kamu nyaris celaka andai anak buah saya tidak menyelamatkanmu!”
Lelaki itu bergerak mendekat ke ranjang hingga Puspa langsung duduk meringkuk sambil merapatkan selimut. Tubuhnya menggigil kedinginan, tetapi ia tahu sebabnya bukan hawa ruangan yang sejuk oleh AC. Di mata Puspa, sang tentara berdiri tegak dengan sikap waspada sekaligus berkuasa, apalagi ketika berbicara menjelaskan, “Tragedi 98 nyaris terulang andai keberuntungan tidak berpihak sama kamu. Regu antihuru-hara telah bersiap membungkam dirimu,” ia menodongkan telunjuk ke arah pelipis seraya menatap Puspa tajam, “tapi, saksi mata bilang, ada yang lebih dulu menghajarmu hingga pingsan, lalu kami mengamankanmu. Kamu sekarang ada di rumah sakit militer!”
Lelaki itu kini menurukan tangannya dan bercekak pinggang.
“Bagaimana cara orang tuamu mendidik? Kamu sama sekali tidak bisa dibanggakan! Kecil-kecil sudah jadi provokator!”
Puspa mengatupkan rahang getir. Dadanya seolah disekap dalam ruang hampa. Ia tidak diperkenankan untuk mengambil udara. Rasa sesak itu butuh dilepaskan sebelum mengamuk. Kata-kata lelaki itu jauh lebih menyakitkan daripada nyeri yang masih berdenyut di bagian belakang kepala.
“Saya bukan provokator, Pak!” tegas Puspa lirih, berusaha mengaduk ketakutan yang masih mengendap di dasar agar lekas menyingkir.
“Tapi, kata-katamu telah menyebabkan agitasi. Kamu mengajak orang-orang secara agresif untuk bertindak!”
“Saya tidak melempari Senayan dengan batu, botol, ataupun bom molotov. Anda tidak tahu apa-apa tentang diri saya!”
Puspa sadar bahwa cara bicaranya terhadap sang tentara sungguh tidak santun. Kemarahan di wajah lelaki itu bangkit. Bisa saja Puspa akan menerima kekerasan kedua dari telapak tangan besarnya yang terkepal kuat, tetapi sebuah dering telepon di ruangan meredakan ketegangan. Sang tentara menunjukkan ekspresi tidak senang saat mengangkatnya dan berbicara cukup panjang. Setelahnya, ia kembali bertanya pada Puspa dengan lantang.
“Siapa nama ayahmu?”
Puspa malah bungkam. Ia tidak ingin ayahnya tahu bahwa aksi demonstrasi hari ini tidak berjalan semestinya. Kesepakatan mereka pun telah dilanggar karena Puspa melibatkan dirinya sendiri dalam masalah.
“Saya tanya kamu. Jangan diam saja!”