Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #7

Semestinya Engkau Hadir di Sana (2)

Ayah pernah menolong ibumu. 

Puspa kini mengetahui sejarah pertemuan ayah dan mendiang ibunya. Puspa masih terlalu kecil saat ditinggal pergi, hingga Puspa tidak bisa mengingat wajah perempuan itu. Puspa juga tidak mampu melihat jejak sang ibu pada kenangan ayahnya. Entah kenapa. Kenangan tentang ibunya seakan ingin dikubur dalam-dalam oleh ayahnya. Bahkan, ayahnya berusaha menjauhkan Puspa dari masa lalu.

Puspa kecil hanya mengetahui satu hal: ayahnya dulu adalah seorang polisi, tetapi kemudian meletakkan jabatan demi fokus mengasuh dirinya. Sebelum ini, ayahnya senantiasa menyangkal setiap kali ditanyai. Namun, tetap saja ada hal mengganjal mengenai kepergian ibu Puspa yang masih coba ditutup-tutupi oleh sang ayah. Puspa tidak menyukai cara ayahnya menyimpan rapat rahasia masa lalu. Hanya cerita itu yang ia punya. 

Namun, sang ayah mencintainya dan Puspa sudah puas akan hal itu. Kali ini ia pasrah ketika sang ayah memintanya untuk ikut dengan lelaki itu. Mereka akan mencari solusi masalah yang diderita oleh Puspa bertahun-tahun. Alasan yang membawa Puspa dan ayahnya tiba di sebuah rumah yang beralamat di sebuah kampung kecil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 

Selama ini, Bantul dikenal punya banyak tempat wisata alam bernilai fotografis, tetapi Puspa baru tahu jika tempat ini juga menyimpan sisi spiritual yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Ada seorang pemuda yang konon dijuluki Bocah Angin. Semenjak dikenal sebagai spiritualis putih, rumahnya tak pernah sepi. Tidak sedikit orang datang kepadanya dari berbagai latar belakang. Namun, mereka semua membawa masalah serupa: dibayang-bayangi oleh entitas yang mengganggu, bahkan membahayakan nyawa. 

“Wa’alaikumussalam.” 

Rumah di hadapan mereka sederhana saja, tidak jauh berbeda dengan kediaman mereka di ibu kota. Namun, Puspa mulai menyadari sesuatu yang tak lazim ketika pintu di hadapan mereka terbuka. Awalnya, ia menduga bahwa spritualis yang dimaksud akan berpenampilan sepuh, setidaknya sebaya dengan ayahnya. Namun, orang yang keluar menemui mereka malah seorang pemuda yang kira-kira sepantaran dengannya. Ia kian merasa aneh ketika ayahnya mengangguk takzim pada pemuda itu, meskipun lantas dibalas dengan anggukan tak kalah sopan. Ayah Puspa segera memperkenalkan diri. 

“Oh, Pak Gilang yang kemarin telepon?” tanggap pemuda itu dengan alunan nada yang membuat Puspa merasa tergelitik. Logat yang ia dengar seperti Jawa kromo yang halus dan lembut. Tidak lama-lama, perhatian pemuda itu terpusat ke arahnya. Pemuda itu seolah memastikan seraya membuka telapak tangan dengan sikap yang amat tertata. “Dan ini, putri Bapak yang diceritakan tempo hari?”

Tanpa sadar, Puspa melirik ke samping dan jatuh pada wajah penuh harap milik ayahnya. Lelaki itu telah terlibat pembicaraan awal dengan pemuda ini rupanya. Puspa hanya tidak menyangka jika ayahnya benar-benar percaya pada ucapannya mengenai penglihatan-penglihatan misterius. Padahal selama ini, kisahnya cuma dianggap angin lalu.

Ayahnya pun mengiakan dengan serbasalah. “Ya, mohon Nak Itkas bisa membantu.”

Itkas. Sederhana betul namanya, pikir Puspa. Namun, ia belum tahu apakah pemuda ini sungguh biasa sesuai yang terlihat di permukaan. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia adalah pemilik ilmu kebatinan mumpuni seperti orang-orang yang pernah Puspa temui. Ini bukan kali pertama Puspa diajak oleh sang ayah untuk meminta bantuan paranormal. Tetapi, katanya, orang ini sendiri menolak disebut paranormal. 

Meskipun tutur kata dan pembawaannya halus, pemuda ini ternyata tidak suka membuang waktu. Itkas langsung mempersilakan mereka masuk untuk bertukar pikiran. Puspa kembali dibuat tercengang. Ruang tamu si Bocah Angin sama sekali tidak mencerminkan tempat praktik spiritual; gulungan-gulungan spanduk berjajar rapi di satu dinding. Sementara tak jauh dari sana, ada perlengkapan dan alat sablon yang kelihatannya baru-baru ini dipakai. Aroma tinta dan tekstil menyebar di udara. Tempat ini lebih berkesan milik wirausahawan.

“Ada printing banner juga, Mas?” celetuk Puspa tanpa basa-basi. Pandangannya memindai seraya mengomentari isi ruangan dengan gaya khas ibu kota. Untunglah, Itkas tidak tersinggung. “Percetakan saya khusus melayani sablon manual, Mbak. Meskipun proses pengerjaan lama dan agak mahal, tetapi kualitasnya lebih awet dan tidak luntur. Seperti yang Mbak lihat, saya lebih banyak mengerjakan spanduk dan reklame di sini. Tapi, Mbak juga bisa cetak buat kaus atau baju. Silakan kalau butuh, saya akan kasih kartu nama saya nanti.”

Puspa pun membulatkan mata. Sempat-sempatnya pemuda ini beriklan tentang usahanya. Spiritualis pilihan ayahnya kali ini memang tidak biasa.

“Puspa.” Terdengar panggilan sang ayah menuntut. Perhatian Puspa pun kembali pada situasi semula. Ia lantas menempati kursi kayu di samping lelaki itu, satu-satunya perabot sederhana di ruang tamu. Begitu Puspa sudah terlihat nyaman bersandar di sana, Itkas memulai perbincangan. 

“Mbak Puspa, bisa tolong diceritakan, sejak kapan persisnya Mbak mengalami penglihatan-penglihatan yang tidak biasa?”

Lihat selengkapnya