Pertanyaan Puspa bagai hantaman godam yang membuat kepala Itkas tertunduk. Merenung. Ketika wajahnya terangkat kembali, Itkas mengulas seringai penuh ketegaran. “Dulu, ada peristiwa yang menimpa saya, hingga saya punya rasa trauma yang dalam. Hal itu kemudian menjadi celah kelemahan bagi saya untuk dihinggapi khadam dari kalangan jin. Saya jadi punya kemampuan untuk mendengarkan kabar yang dibawa oleh angin–dalam artian sebenarnya. Rasanya, seperti mendengar saluran radio dari macam-macam frekuensi siaran dari banyak tempat dalam satu waktu.”
Punggung Puspa makin melekat di sandaran tatkala berusaha memahami penjelasan yang menurutnya agak seram tersebut. Kulitnya yang berada di bawah kemeja flanel dengan lengan digulung hingga ke siku pun merinding.
“Jadi, Anda bisa tahu rahasia-rahasia, misalnya, isi obrolan orang?”
Itkas mengangguk.
“Seru, dong!” kelakar Puspa, tetapi wajah pemuda itu mendatar seolah merasa tidak tersanjung sama sekali.
“Tidak semua yang saya dengar adalah hal menyenangkan. Kadangkala, saya mendengar kabar kejahatan atau kebusukan yang disembunyikan oleh seseorang.” Jawaban lugas dari Itkas membenarkan prasangka Puspa. Rupanya, pemuda ini juga punya persoalan yang mirip dengannya. Entah bagaimana cara Itkas mengatasi fenomena tersebut.
“Saya kemudian menetap dan menimba ilmu di pesantren Kiai Tulus di Magelang. Beberapa tahun kemudian, khadam di tubuh saya pergi. Saya bersih dari gangguan. Tapi, saat saya kembali ke sini, saya tidak bisa lepas dari julukan Bocah Angin yang sudah tersebar di kampung.”
“Justru keren, ‘kan, punya julukan begitu? Lebih baik daripada saya yang selalu diledek mata sipit dan Tionghoa.”
“Ada orang yang mengejek Mbak Puspa seperti itu?” Itkas terkejut.
“Banyak. Sejak saya kecil. Orang-orang itu juga mengucilkan saya seperti hama penyakit!”