Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #9

Sang Spiritualis

“Saya bingung, Kiai. Perempuan itu bersikeras kalau ia mengalami fenomena melihat hantu, tetapi saya tidak merasakan energi negatif sama sekali dari dirinya,” keluh Itkas. Akhirnya, ia membawa masalah tamu terakhir di rumahnya kemarin ke hadapan sang guru, Kiai Tulus di Magelang. Lelaki sepuh berwajah teduh dengan usia yang mungkin sudah tiga kali lipat darinya, mendengarkan dengan serius. Kiai Tulus juga terkenal tidak senang menghakimi kisah orang lain, jadi Itkas merasa lelaki alim ini adalah orang yang paling tepat untuk ia mintai pendapat. 

Kiai Tulus manggut-manggut lantas berujar pendek, “Dia cantik?”

“Iya, Kiai,” jawab Itkas, lalu segera tersadar bahwa ia baru saja terkena pertanyaan jebakan. “Maaf, Kiai, apa hubungannya antara cantik atau kurang menarik?” Itkas balik bertanya heran. Kiai Tulus malah terkekeh pelan.

“Karena, tidak biasanya kamu mau mengurusi persoalan yang tidak kamu tangani. Jauh-jauh ke Magelang malam hari khusus untuk menceritakan ini. Awalnya, saya kira kamu bakal meminta pendapat penting tentang seorang gadis yang ingin kamu pinang.”

“Kiai …,” tukas Itkas dengan tersipu. “Tolong Kiai jangan salah paham dahulu. Kedatangan saya ke sini benar-benar karena bingung, bukan sebab lain. Bukahkah, Kiai sudah hafal sifat saya?”

Kiai Tulus terkekeh lagi. “Itkas, Itkas. Jadi, hal penting apa yang sebenarnya mengganggu hatimu?” Sang guru pun menanggapi dengan serius. 

“Sikap perempuan itu dan ayahnya mengusik hati saya, Kiai. Batin saya merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya. Aura bapak itu tidak wajar. Putrinya bilang, ayahnya punya gejala penyakit. Mereka juga buru-buru pulang tanpa penjelasan karena perempuan itu sangat ketakutan sehabis dari rumah saya. Jujur, sikap mereka mengganjal perasaan saya.”

“Baru kali ini kamu baperan menghadapi klien.”

“Belum jadi klien, Kiai. Kami cuma sempat mengobrol sebentar, tetapi kami tidak punya kesepakatan terapi apa pun.” Itkas merasa jengah. Ia bahkan tidak sempat mengajak Puspa dan ayahnya untuk salat dan zikir bersama sebagai kebiasaan terhadap tamu-tamunya yang muslim.

“Hm,” Kiai Tulus memejamkan mata, mungkin sedang berpikir dalam. Ketika kelopak matanya terbuka, ia sampai pada satu kesimpulan. “Itkas, kasus yang kamu ceritakan kali ini sungguh menarik. Bisakah kamu mengajak gadis itu lain kali datang ke sini?”

“Untuk apa, Kiai? Dia mungkin akan menolak.”

“Karena, kamu sudah tidak memercayai cerita dia sedari awal, bukan?”

Lihat selengkapnya