“Kios Sembako Bumiputra,” ucap Itkas lirih seraya membaca spanduk yang ditempel pada dinding. Seolah bicara tegas bahwa tempat itu adalah milik warga lokal. Di depannya, terparkir sebuah pikap dengan bak terbuka. Letak bangunan itu berada di kawasan padat pemukiman yang mampu membuat pemuda dari kampung kecil seperti dirinya tersesat. Apalagi Jakarta jauh lebih luas daripada Yogyakarta. Isinya juga belantara beton. Jika Pak Gilang tidak membagikan lokasi lewat aplikasi perpesanan, Itkas tidak yakin bisa menemukannya. Maka, Itkas tidak ingin mengambil risiko tersebut dan memilih untuk memercayai ojol yang ia pesan setelah turun di KRL Pasar Minggu.
“Terima kasih Nak Itkas sudah mau datang.” Pak Gilang menyambutnya dengan keramahan yang mengalir dari irama suara dan sikapnya. Itkas merasa tulang pipi lelaki itu agak lebih menonjol dibandingkan pertemuan mereka dahulu.
“Pangling, saya. Pak Gilang tampak makin muda. Sering olahraga, Pak?” Itkas berharap basa-basinya tidak menyinggung lelaki itu. Benar saja, Pak Gilang malah tersenyum kecut.
“Makin kurus, ya, Nak Itkas? Gara-gara mikirin Puspa. Anak itu makin susah diatur.” Seketika ia mengomel, lalu mempersilakan Itkas masuk ke dalam kios yang berada tepat di depan rumah. Itkas merasa beberapa pasang mata dari pengunjung kios turut mengamatinya saat itu. Ketika ia mengangguk takzim pada orang-orang itu, mereka hanya membalasnya dengan heran. Seorang ibu berdaster kemudian lanjut berbelanja, sedangkan seorang pemuda tanggung mencoba peruntungannya untuk meminta kasbon.
“Di sini tidak melayani kasbon, ya, Nak. Kalau mau kasbon, kamu kerja dulu di sini, baru saya kasih pinjaman, lalu dipotong dari gaji kamu.”
“Yah, Pak Gilang pelit. Di toko Koh A Bin saja bisa,” kilah pemuda itu kecewa.
“Kalau begitu, kenapa tidak beli di sana saja?”
Pemuda itu pun menggaruk kepala kesal. Tampaknya, ia memang sengaja beralih ke kios milik Pak Gilang dengan skema yang sama. Menunggak kasbon. Ambil dulu, bayar kemudian atau entah kapan.
“Dasar bocah gemblung. Tak bilangin sama emakmu di rumah, utang-utang melulu.”
Ibu berdaster tadi menaruh belanjaannya ke meja kasir sederhana. Hanya ada kalkulator dan buku catatan di sana. Pak Gilang memilah dan menghitung dengan cepat, sementara si pemuda beringsut meninggalkan sekotak susu UHT besar dan beberapa bungkus mi instan. Perhatian Pak Gilang teralihkan sejenak.
“Kamu segede ini masih minum susu?” Pemuda itu mengerjap ditanya begitu oleh Pak Gilang. Mungkin ia bingung kenapa minum susu harus dikaitkan dengan perihal usia, padahal tidak ada larangan untuk siapa saja. Ia pun menjawab dengan setengah hati karena masih kecewa, “Iya, Pak. Barengan sama Adik. Saya beli yang kecil saja buat dia.” Pemuda itu mengangsurkan sekotak susu ukuran kecil sebagai ganti belanjaannya yang batal. Namun, Pak Gilang lantas mengembalikan kotak susu besar ke arah si pemuda. “Mi instannya, bayar kontan. Tapi, yang ini boleh kasbon.”
Ekspresi pemuda itu tampak kaget sesaat, lalu kemudian berubah cerah. “Siap, Pak. Terima kasih banyak!”
“Tapi, ingat. Bulan depan harus dicicil. Kalau kasbon-mu macet melulu, nanti kamu tidak bisa belanja di mana-mana.” Pak Gilang segera mencatat utang si pemuda di buku piutang miliknya. Si ibu berdaster hanya mengomel karena ia meloloskan pemuda itu kali ini, walaupun dengan syarat.
“Nggak bakal kapok-kapok tuh anak kalau Pak Gilang dan Koh A Bin kasih kasbon terus.” Ludahnya bercipratan ke segala arah selagi ia membuka dompet tebal berisi recehan uang kertas dan logam. Pak Gilang hanya menarik bibir samar karena ialah kini yang menjadi sasaran kegusaran si ibu. Adegan itu menyentuh perasaan Itkas. Meskipun lugas dan kata-katanya keras, hati Pak Gilang ternyata lembut. Lelaki itu penuh belas kasih sekaligus tegas.
“Maaf, ya, Nak Itkas. Saya harus melayani pembeli dulu.” Pak Gilang menutup kiosnya setelah kedua pembeli tadi pergi.