“Kiai, saya belum bisa menarik benang merah dalam kasus ini, tapi persoalannya makin personal dan bertambah rumit,” keluh Itkas di telepon. Ia tidak menunda-nunda untuk menghubungi Kiai Tulus dan meminta wejangan dari sang guru. Itkas telah berada di depan gerbang universitas tempat Puspa berkuliah, sementara kakinya masih belum beranjak untuk melangkah.
“Apa yang membuat hatimu ragu?” Sang guru di seberang bertanya langsung ke inti masalah Itkas. “Jika seseorang memercayakan kisah hidupnya sama kamu, tandanya ia memang membutuhkan bantuan mendesak.”
“Entahlah, Kiai.” Itkas mengusap tengkuk. Bukan lantaran peluh yang mengalir deras akibat sengatan matahari bercampur polusi, tetapi karena resah yang kian menguasai diri. Pengakuan Pak Gilang megguncang hatinya hingga kini ia seakan berada di dasar keraguan dengan puncak dinding yang terjal. Itkas kesulitan menempatkan dirinya dalam situasi ini. Karena itulah, ia membutuhkan pandangan sang guru yang lebih jernih.
“Keluarga mereka pernah ditimpa pengalaman tragis, Kiai. Bahkan, mungkin lebih tragis daripada pengalaman saya sendiri.” Itkas kemudian bercerita tentang asal usul ibu kandung Puspa serta tragedi yang menimpa orang tua mereka menjelang era reformasi. Kiai Tulus mendengarkan dalam hening hingga Itkas selesai berbicara. “Menurut Kiai, apakah saya orang yang tepat untuk membantu? Sepertinya, mereka lebih membutuhkan dukungan psikolog.”
“Karena itukah kamu jadi ragu? Sudah kamu tanyakan sama ayahnya, apakah mereka sudah mencoba terapi ke psikolog?”
Itkas pun menggaruk kepala dengan tingkah bingung. “Itulah, Kiai. Ayahnya merasa kasus putrinya ini bukan lantaran gangguan psikologi karena perempuan ini lahir setelah kerusuhan 98 telah lewat. Tidak mungkin putrinya mengalami dampak dari peristiwa itu.”
“Justru dari ceritamu, putrinya merasa disisihkan oleh teman-temannya karena dia mirip peranakan Tionghoa? Mungkin saja penyebabnya dari situ.”
“Sepengetahuan saya, stigma mengunjungi psikolog atau psikiater masih negatif dalam masyarakat kita. Mereka lebih memilih ke paranormal karena tidak mau dianggap gila. Saya tidak bermaksud bilang ayahnya kolot, tapi beliau sepertinya tidak percaya jika Mbak Puspa punya masalah kejiwaan karena terlihat baik-baik saja dan bisa bergaul dengan normal di luaran.”
Itkas yakin, Kiai Tulus mungkin sama herannya dengan dirinya. Embusan napas lelaki sepuh itu terdengar di seberang. “Kamu sudah mendalami masalah ini dengan putranya Pak Kadjib?”
Itkas pun membenarkan, lalu memaparkan ulang teori yang dikemukakan oleh Eka. “Dia bilang, ada kajian parapsikologi yang khusus mempelajari fenomena seperti ini. Istilahnya, clairvoyance. Orang kita menyebutnya waskita atau cenayang. Dari gejala yang dialami Mbak Puspa, kemungkinan besar ia memiliki kemampuan retrokognisi.”
“Apa itu, Itkas?” tanya Kiai Tulus tertarik.