“Fenomena itu datang lagi, Mbak?” tebak Itkas tatkala mereka sudah berjalan di lorong yang terang dan berisi manusia. Tatapan Puspa kelihatan muram. Pertanyaan Itkas seolah membuat usahanya untuk menarik napas terasa lebih berat. Ia lelah. “Ya dan lebih sering,” jawabnya pendek.
“Apakah itu pernah terjadi saat Mbak Puspa di rumah bersama Pak Gilang?”
Langkah Puspa terhenti. Ia menoleh ke arah Itkas dengan tatapan berang. “Anda mewawancarai ayah saya apa saja?” Kembali, Puspa malah bersikap defensif menghadapi Itkas. Ia jadi teringat pada kelakar sang ayah saat menyatakan ketidaksukaannya terhadap Itkas, sang penolong. Bagaimana mungkin dua orang yang saling tidak percaya bisa bekerja sama dengan baik?
“Ayah dan ibumu dulu juga tidak akur. Kami berseberangan seperti musuh, tapi kami lalu menikah. Lucu, bukan?”
Bersatu atau runtuh, terdengar bagai gaung antitesis lama tentang ketertarikan dan keterikatan antara dua orang yang saling membutuhkan–alasan klasik untuk memulai kongsi dan pernikahan hanya satu dari sekian contohnya. Namun, Puspa heran bagaimana dua orang yang sebelumnya saling membenci mampu melakukannya? Hingga ia sampai pada satu titik kesimpulan. Peristiwa Mei 1998-lah yang mempertemukan sang ayah dengan ibunya, kemudian melibatkan mereka secara paksa hingga akhirnya memilih untuk bersepakat dalam ikatan seumur hidup.
“Sebaliknya, saya tidak bisa menelusuri penglihatan dari masa lalu beliau,” aku Puspa getir. “Dari sekian banyak peristiwa yang saya lihat, hanya masa lalu ayah saya yang tersembunyi dari radar. Menurut Anda, apakah itu aneh?”
Pertanyaan yang sulit. Andai Itkas bisa menelepon Kiai Tulus saat ini juga untuk meminta bantuan. Namun, Itkas cuma bisa merogoh lebih banyak misteri dengan asal menebak dan berprasangka.
“Jujur, saya tidak tahu. Panjenengan mungkin punya jiwa sosial yang tinggi hingga terlalu jauh memikirkan persoalan ini dan membayangkan setiap korban yang panjenengan ketemukan informasinya?”
Sepasang mata Puspa terbelalak, meskipun tidak berhasil memelototi Itkas dengan sempurna karena celah matanya yang mungil hingga lebih terkesan tanpa riak emosi. Timbul rasa segan di hati Itkas karena ia mungkin telah memicu hulu ledak yang sensitif dalam diri Puspa.
“Anda pikir, saya hanya mengarang-ngarang cerita, mencampuradukkan khayalan dan fakta kerusuhan 98? Anda menuduh saya mengidap mitomania?”
Ludah di kerongkongan Itkas terasa seret. Inilah yang tidak ia inginkan: komunikasi mereka berujung debat. Ia pernah diberi tahu oleh Eka bahwa masih ada kemungkinan psikologi yang menyebabkan seseorang menceritakan suatu peristiwa tidak masuk akal secara berulang, yakni kelainan mitomania, persis seperti yang disebut oleh Puspa. Namun, Itkas kini meragukan teori tersebut. Puspa sendiri ternyata menyadari bahwa dirinya dituduh mengidap kelainan tersebut. Biasanya, orang dengan gangguan mental tidak sadar bahwa diri mereka sedang sakit, kata Eka. Ia pun menyingkirkan kemungkinan tersebut untuk sementara ini dan akan lebih fokus pada teori satunya.
“Mbak Puspa pernah mendengar tentang retrokognisi?”