Laki-laki itu berbadan tegap, tinggi, dan klimis dalam kaus preman warna tanah yang senada dengan kulit cokelat terbakar. Dari garis-garis samar di wajahnya, Itkas taksir usianya mungkin sudah lebih dari paruh baya. Ada sensasi deja vu yang amat kentara ketika ekspresi lelaki itu terpaku menatapnya. Itkas merasa sedikit terintimidasi tatkala lelaki itu mendekat ke arahnya seperti buldoser; besar dan mengancam.
Langkah si lelaki berhenti tepat di hadapannya. Itkas menggeleng ketika lelaki itu menanyakan seorang perempuan dengan ciri-ciri mirip Puspa. “Maaf, saya tidak melihatnya.”
Ketika lelaki itu bermaksud menelisik koridor lebih saksama, Itkas berdiri teguh di tempatnya, seakan menghalangi lelaki itu agar tidak melongok dan memeriksa ke balik sebuah pot besar berisi tanaman perdu yang rimbun. Lelaki itu pun tidak membuang waktu dan bergerak ke bagian lain koridor. Dengan cepat, tubuhnya menghilang di tikungan depan. Setelah dirasa cukup aman, Itkas memanggil Puspa yang bersembunyi di sana.
“Mbak Puspa kenal orang itu? Kenapa bersembunyi?” selidik Itkas heran melihat rona wajah Puspa yang sempat memudar. Bahu Puspa terangkat pelan tanpa minat sebagai jawaban, tetapi gelombang kecemasannya mulai berkurang. Riak matanya pun lebih tenang.
“Orang militer.”
Itkas pun terkejut luar biasa.
“Mbak Puspa diincar karena melakukan kejahatan?”
“Tidak. Saya hanya tidak akur dengan mereka sejak aktif di organisasi kemahasiswaan dan sering berorasi saat demo.” Puspa berusaha menyangkal untuk menepis kecurigaan Itkas, tapi rupanya jejak dusta itu terbaca oleh si pemuda.
“Apakah saya perlu memberitahukan Pak Gilang? Mungkin orang itu ingin berbicara serius.”
“Tidak!” Kali ini, Puspa menyergah dengan cepat dan terasa gelombang kepanikan dalam nada suaranya. Demi melihat sorot mata Itkas yang tertuju lekat padanya, Puspa pun berupaya meluruskannya. “Saya akan bicara, tapi tidak di sini.”
Maksudnya, setelah mereka berada di perjalanan. Puspa mengajak Itkas berjalan kaki pulang ke rumahnya di Jalan Rambutan agar lebih cepat sampai dan bebas dari macet. Puspa tidak mau mereka lebih dulu diketemukan oleh utusan-utusan dari pihak militer yang penampilannya mirip petarung bayaran. Entah apa yang diinginkan oleh mereka dari Puspa. Ia hanya gadis biasa dengan pemikiran terbuka dan lidah tanpa segel untuk bersuara.