Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #14

Penyangkalan (2)

“Mbak Puspa sudah makan tadi?” tanya Itkas setengah berbisik. Ia melirik ke arah nasi bungkus di atas nakas. Ada tanda lipatan kertasnya sudah dibuka, tetapi isinya tampak masih gembung. Sepertinya, gadis itu sekadar mencicipi.

Puspa mengangguk dengan wajah pucat. Dari binar matanya yang beriak, tampak jelas bahwa pikiran gadis itu sedang kalut. Baru dua hari ayahnya dirawat di rumah sakit, mental Puspa rontok. Ia tengah tersesat dalam bayang-bayang ketidakpastian masa depan, tagihan rumah sakit, dan harapan dari sang ayah yang belum mampu ia penuhi. Waktu seolah tidak berbelas kasih meninggalkan ia di titik awal pacuan. Puspa lengah lantas dicurangi di depan mata! 

“Masih banyak keinginan Ayah yang belum saya kabulkan, Mas. Seharusnya, saya lebih serius memikirkan skripsi, bukan demonstrasi. Beliau belum bisa melihat saya jadi sarjana.” Puspa tidak sudi menitikkan air mata kekalahan hingga ia langsung menghapusnya. Namun, tetap saja rasanya tidak lebih baik. Pemuda di hadapannya malahan mencoba membendung perasaan tersebut, tanpa peduli bahwa dinding-dinding hatinya sedang mengalami kebocoran hebat. 

“Pak Gilang hanya menginginkan kebahagiaan Mbak Puspa.” Juga nasib yang lebih ramah untuk orang-orang tertindas seperti ibunya, tambah Itkas dalam hati. Ia tidak berani mengungkap terlalu banyak saat ini. Sama seperti harapan Puspa, Itkas ingin rahasia itu dituturkan sendiri oleh Pak Gilang. Andaikan ia boleh memaksa seseorang untuk bertahan, maka kali ini ia memohon agar keinginan itu dikabulkan. 

Tanda-tanda vital Pak Gilang belum ada perbaikan berarti. Denting monitor masih terdengar cepat dan angka yang menunjukkan tekanan sistole dan diastole pun masih tinggi. Gerakan pelan pada dinding dadanya menunjukkan bahwa lelaki itu masih berjuang untuk bertahan. Maut seolah mengintai dari salah satu sudut ruang berisi ranjang dan peralatan penunjang. Tetesan infus yang mengalir ke pembuluh darah di tangannya telah dicampur dengan manitol karena masih banyak cairan yang menumpuk, meskipun perdarahan di otak sudah berhenti.  

“Mas Itkas kenapa masih ada di sini?” 

Itkas tidak tahu mesti menjawab apa. Tidak masalah jika Puspa menganggap perhatiannya sudah melampaui kewajaran, tetapi bagaimana jika kejujurannya malah menimbulkan firasat tidak enak di hati gadis itu? Intuisi mendorong Itkas untuk bertahan lebih lama di Jakarta dan tidak jauh-jauh dari keluarga ini. Perannya seolah bagai pengamat yang sedang menantikan sesuatu. 

“Mas!” panggil Puspa tidak sabar. “Mas Itkas punya urusan lain yang lebih penting, ‘kan? Ada usaha yang sedang Mas tinggalkan di Bantul. Tidak usah menemani saya dan ayah saya di sini. Ini bukan tanggung jawab Mas.”

Itkas mengangguk seraya tersenyum. Kekhawatiran Puspa memang beralasan, tetapi ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ke Jakarta. Itkas tidak pernah pergi tanpa persiapan. Namun, senyumnya tadi juga terulas lantaran Puspa kini memperlakukannya lebih lunak. Tidak ada lagi panggilan “Anda” untuknya. Keterasingan di antara mereka bagai terkoneksi. 

Lihat selengkapnya