Aroma tajam dari bekas oli dan sangit mampir di penciuman Itkas. Samar-samar, ia juga membaui aroma lain yang terasa tidak asing sekaligus menyenangkan. Aroma tersebut seperti manis vanili yang bercampur dengan kesegaran teh, minuman kesukaannya, hingga ia merasa sedang mengambang di antara surga dan neraka.
Ketika aroma manis itu menyelusup ke seluruh indra penghidunya, Itkas pun terbangun. Ia gelagapan sebentar karena suasana di sekitarnya berselimut remang-remang. Setelah menajamkan penglihatan yang berkabut, barulah Itkas sadar bahwa ia sedang berada dalam ruangan seperti bekas bengkel. Sejenak, ia bingung karena tubuhnya tidak mampu bergerak, lantas merasakan ada sesuatu yang mengikat tangannya di satu tempat. Punggungnya membentur tiang. Sikunya pun terasa ngilu karena ada yang menyodok-nyodok dari arah belakang. Serangkaian hela gusar mendarat di gendang telinganya. Bunyi itu terasa dekat seolah menempelinya bagai bunyi detak jantungnya sendiri yang memantul dalam keheningan.
Sebuah sikutan lebih keras membuat Itkas mengeluh hingga terdengarlah seseorang memanggil. “Mas Itkas! Sudah sadar?”
Itkas mengerutkan kening spontan. “Mbak Puspa?” tanyanya bingung.
“Iya, siapa lagi? Jangan bicara keras-keras!” balas Puspa pelan.
Itkas pun berusaha menoleh sejauh mungkin ke arah suara itu berasal, lalu sudut matanya menangkap bayangan punggung gadis itu sedang membelakanginya. Ternyata mereka berdua diikat pada sebuah tiang yang sama. Kecanggungan tiada tara mendera Itkas karena berada dalam jarak sedekat itu dengan lawan jenis. Aroma yang ia cium tadi rupanya berasal dari gadis itu.
“Tadi saya pingsan, ya, Mbak?” tanya Itkas lagi bingung.
“Iya, kepala Mas Itkas dipukul. Kita diculik, Mas.” Puspa menjelaskan dengan perlahan. Bicaranya terdengar pasrah, alih-alih tabah. Itkas segera berusaha membebaskan tangannya dari ikatan, tetapi ia tidak bisa menarik simpulnya, dan justru makin mengetatkan jerat tersebut. Ketika Itkas berusaha menarik-narik dan menghantam tiang penambat, usaha tersebut tidak membuahkan hasil, malah tangannya terasa sakit dan menuai protes Puspa karena keributan yang ia timbulkan.
“Kenapa tidak boleh berisik, Mbak? Kita harus minta tolong.” Itkas bermaksud berteriak memanggil bala bantuan, tetapi lekas dicegah oleh Puspa.
“Jangan, Mas! Tadi saya sudah coba, tapi langsung dihajar paman saya.”
Kuping Itkas seolah menegak. “Paman?” kejar Itkas dengan keheranan luar biasa. Ia lantas bisa merasakan gerakan samar di belakang punggungnya ketika gadis itu mengangguk berat dan lamat.