Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #16

Mundur ke Masa Lalu (1)

“Tolooong!” Reaksi pertama Puspa ketika menyadari niat jahat lelaki itu adalah dengan berteriak sekeras mungkin. Ia berharap ada orang yang mendengar. Rasa takutnya akan menerima kekerasan dari sang paman kalah oleh ketakutan yang lebih besar terhadap ancaman kematian. Sementara itu, Itkas tidak berhenti untuk membebaskan jerat di tangannya. Ia gesek-gesekkan tali tambang yang terbuat dari serat pada kayu tiang yang tajam. Ia harus berhasil memutuskannya! 

Aroma bensin menyesaki penciuman ketika separuh ruangan telah disiram. Teriakan Puspa dan usaha Itkas menjadi lebih kencang. Tak lama kemudian, Itkas mulai mendengar suara teriakan minta tolong lain di sekitarnya. Ia bingung luar biasa. Cuma ada mereka di lokasi ini, tetapi kenapa suasananya ramai sekali seperti banyak orang terperangkap?

“Tolooong …. Tolooong! Aaakh!” Jeritan putus asa mulai berbaur dengan nada kesakitan menyayat hati. Suara-suara orang sekarat bergema di liang telinganya. Jantung Itkas berdebar tidak keruan mendengar. Ia pun menoleh ke sekeliling dengan tatapan berdenyar. Dicarinya ekspresi Puspa–apakah gadis itu juga merasakan hal yang sama, tetapi pandangannya terhalang oleh tiang. 

“Mbak Puspa dengar itu?”

Puspa diam, digantikan oleh hela napas ketakutan lirih. Puspa terperenyak seolah punggungnya berusaha menyatu dengan tiang. Tampaknya, Puspa juga mendengar jeritan-jeritan tadi. 

Astagfirullah, bukan hanya suara-suara misterius tadi, tetapi kini ia juga bisa melihat kobaran dan gemuruh api di luar bengkel hingga pantulannya membuat bayang-bayang setiap benda menjadi merah terbakar. Namun anehnya, Itkas sama sekali tidak merasakan sensasi apa pun, terutama panasnya api yang membara, seakan kebakaran yang terjadi di luar hanyalah fatamorgana. Hanya aroma bensin melekat yang sedari tadi menyadarkan dirinya bahwa ia masih berada di alam nyata dan belum terlepas dari bahaya. 

Tiba-tiba, Puspa menjerit. Bukan lantaran kesakitan, tetapi menyerupai lengking teror yang menakutkan setengah mati. Kepalanya meneleng ke samping untuk menolak sesuatu yang datang dari arah depan. Itkas pun melongokkan kepala sebisa mungkin untuk mencari tahu apa yang tengah mengancam Puspa. 

Sepasang mata Itkas melebar. Pemandangan di hadapannya sungguh tragis dan tidak wajar. Bagai tayangan layar lebar tiga dimensi, sosok-sosok hangus dengan tubuh berjelaga berlarian kocar-kacir ke sana kemari. Sebagian mulai berjatuhan dan rontok seperti kayu yang meretih dilalap api. Mereka kalah pada takdir maut yang telah menanti. 

Lihat selengkapnya