“Tangkap gadis itu!”
Lelaki pembawa obor tadi memerintahkan kawanannya untuk mengepung seorang gadis yang berlari ke arah Puspa. Kilasan penyerbuan itu begitu nyata dan wajah ketakutan si gadis menulari Puspa hingga ia ikut-ikutan menjerit. Tubuh transparan si gadis menembus Puspa, tetapi orang-orang itu menyeretnya kembali ke jalan. Lapis demi lapis pakaiannya dilucuti. Mereka seakan tidak punya nurani kala tangis pilu si gadis membubung ke langit. Juga ketika si gadis digagahi oleh para lelaki yang gelap mata dan tenggelam dalam euforia. Puspa menggerung dengan tubuh bergetar penuh kemarahan.
“Demi Allah, jangan dilihat, Mbak. Istigfar! Ya Allah, kuatkanlah hati kami,” pinta Itkas memohon. Suara bernada getirnya mengirimkan kesedihan tiada tara karena menyadari bahwa perilaku binatang, bahkan lebih rendah tersebut pernah terjadi di masa lalu. Banyak orang berlarian ke sana kemari menyelamatkan diri. Sementara itu, para penjarah yang lolos dari tindak pembakaran massal hanya tercenung menyaksikan kobaran raksasa merah di hadapan mereka. Terlambat beberapa detik, mungkin saja nyawa mereka yang hilang sebagai imbalan harta benda yang tidak seberapa.
Akan tetapi, tiada seorang pun peduli, bahkan menolong si gadis yang dilecehkan beramai-ramai oleh massa tak dikenal di pinggir jalan. Hari itu, semua sibuk dengan urusan nyawa masing-masing. Nahas bagi si gadis, juga nasib-nasib gadis tidak beruntung lainnya yang diserang di tempat lain. Serentak di hari yang sama.
Apakah ibunya ada di antara gadis-gadis itu? Apakah ia adalah kesalahan yang terlahir dari tragedi masa lalu? Puspa bertanya pedih. Seruan Itkas belum berhasil menembus hatinya yang mendung dirundung kelabu. Hati perempuan normal mana yang tega menyaksikan sesamanya disakiti sedemikian rupa?
Bibit penyulut tragedi rupanya ada di tangan lelaki pembawa obor. Kilasan kelam yang bersatu padu dalam satu waktu dan tempat itu adalah simbol rapuhnya bangunan kerpercayaan di tiap lapisan. Lelaki pembawa obor itu tahu betul kelemahan masing-masing dari mereka. Lapisan bawah yang jenuh dan bergolak ia provokasi untuk menelan lapisan di atasnya yang lebih megah hingga jatuh. Maka, sekali lagi, runtuhlah kemanusiaan di bumi pertiwi. Menambah daftar panjang tragedi yang tiada bosannya berulang bagai penyakit kronis yang takkunjung sembuh-sembuh.
Dua puluh enam tahun berlalu, duka itu bereinkarnasi dalam diri Puspa. Luka hebat yang membekas pada Indri kini menampakkan wujud aslinya di hadapan sang putri. Gadis itu kemudian merasa ia sedang berada di lorong waktu yang mundur hingga ke episode dimulainya bencana. Ia menyaksikan adegan seorang perempuan mirip dirinya dalam versi lebih dewasa diculik oleh sekelompok lelaki misterius. Orang-orang itu mengancam dan menganiaya si perempuan dalam mobil yang sedang melaju kencang. Bukan itu saja, salah seorang dari mereka bahkan melakukan pelecehan terhadapnya. Indri dipukul sampai nyaris pingsan hingga tidak menyadari kekejian yang terjadi kepadanya, tetapi Puspa tidak. Ia bisa melihat dengan jelas siapa pelakunya. Kini, semua tampak masuk akal di mata Puspa; darimana kekerasan hati yang ia peroleh berasal, juga raut wajah yang sempat menipu lelaki yang selama ini ia anggap ayahnya sendiri. Gilang Raharjo tidak pernah sadar bahwa wajah Puspa lebih mirip saudaranya daripada miliknya. Puspa terlahir dari benih sang provokator.
Provokator itu bernama Gunardi.