Ibunya ternyata mati dibunuh. Rahasia itulah yang berusaha disembunyikan oleh sang ayah selama ini dari Puspa. Beruntung, waktu itu Puspa tidak sempat diketemukan oleh Gunardi karena adiknya pulang ke rumah di luar kebiasaan. Alih-alih disambut oleh istri tercinta, Gilang malah mendapati tubuh Indri telah terbujur kaku menyilang di depan kamar. Gunardi telah lebih dulu menyusup keluar lewat pintu belakang.
Itkas berusaha menghentikan gerung tangis Puspa yang menggila, tetapi pikiran gadis itu sedang terkunci oleh duka pahit masa lalu. Ia sampai terdiam kehabisan cara. Hanya hatinya yang beristigfar dengan pasrah, sebelum ia menyadari bahwa ikatan tali di tangannya mulai melonggar.
Gunardi tiba-tiba muncul menghantam kepala Puspa. Gadis itu jatuh pingsan dan kilasan masa lalu di sekitar Itkas pun lenyap. “Dasar gila! Anak pembawa masalah!” umpat Gunardi kesal karena Puspa berteriak histeris bagai kesurupan.
“Bapak adalah ayah kandung Mbak Puspa, bukan?”
Ubun-ubun Gunardi tersengat oleh tuduhan Itkas. Ia tidak tahu dari mana pemuda ini memperoleh informasi tersebut, tetapi keputusannya untuk menculik dan turut menghabisi si pemuda ternyata berguna. Ia akan menamatkan riwayat hidup siapa saja yang memegang kunci menuju identitas aslinya. Gunardi tidak ingin tersingkir dari kelompoknya setelah berhasil mencapai tujuan mereka, yakni meruntuhkan tatanan dalam berbagai lapisan masyarakat. Setelah Mei 1998, Indonesia tak lagi sama. Semua orang berdesak-desakan mengendarai kendaraan reformasi yang sama, tetapi kepentingan mereka berbeda. Sebagian terlempar keluar, terlindas, bahkan tidak pernah tiba di tujuan. Sementara yang selamat, bertahan dalam kondisi berdarah-darah atau anggota tubuh yang tak lagi utuh. Bagian yang hilang itu adalah kepercayaan.
Gunardi tidak akan membiarkan sebongkah batu kecil tumbuh menjadi rintangan besar di jalannya. Tidak akan pernah.